Suatu siang saat istirahat, saya
dan teman kantor memilih salah satu tempat makan untuk bersantap siang yang
kebetulan milik orangtua dari salah satu murid SM saya. Anak itu bernama Nadia.
Pada saat tiba disana, ternyata Nadia juga sedang disana. Kami saling sapa dan
menanyakan kabar. Nadia ini usianya sekitar 8 tahun. Kelas 2 SD. Saat kami akan
selesai makan, Nadia yang dari tadi sibuk berbisik-bisik dengan mamanya
akhirnya memberanikan diri datang ke meja kami.
Nadia : “ Lause, Nadia mau kasih liat lause sulap”
Saya : “oh, ya? Sulap apa?”
pict from google |
Nadia : “ini ada tadi diajarin di sekolah” ujarnya sambil mengisi air
ke dalam kantung plastik kecil. “ Nah, nanti kantung ini Nadia tusuk pake
pensil, airnya ga bocor loh lause…”
Saya : “Liat dong… kok bisa?”
Nadia : “bisa…. Liat ya 1…2…3..” byarr… air muncrat kemana-mana.
Sulapnya gagal. Nadia syok. Saya
terdiam. Mama Nadia dan teman saya pucat. Ups. Someone will crying in 3…2…1…
Mungkin itu yang ada dipikiran kami bertiga sebagai orang dewasa. Mencoba
bersikap sebiasa mungkin agar Nadia tidak malu dan akhirnya menangis. “Ma, apa
yang salah? Kok gagal?” ujar Nadia dengan bingung. Harapannya membuat kagum si
lause seperti sirna. Tiga orang dewasa disana segera bereaksi menenangkan
Nadia. “gapapa, Nad, nanti dicoba lagi saja”, “oh mungkin plastiknya bocor”,
dll, dll. Kami yang rencananya sudah mau beranjak dari sana pun dalam diam
sepakat untuk menunggu reaksi Nadia selanjutnya.
“Lause tunggu sebentar, harusnya
bisa. Nadia ganti plastik dulu. Mama mana plastik yang lain?” Sedikit lega
merayap ketika ketakutan kami dia akan menangis ternyata tidak terjadi. Saya
dan teman saya pun akhirnya memutuskan memberi kesempatan Nadia sekali lagi.
Saya melihat betapa semangatnya dia mengganti plastik, mengisi air, mengecek
pensil, dan berulang kali bertanya ke mamanya kalau semuanya sudah benar dan
tepat. Dia kembali ke kami dan mulai mencoba mengulangi sulapnya. “Lause liat
ya, kali ini harusnya berhasil. 1..2..3” byarrr! Untuk kedua kalinya air itu
tumpah lagi, plastiknya bolong lagi. Kami seperti dejavu. Di luar dugaan, tidak
seperti sebelumnya yang dia terdiam lama, kali ini Nadia langsung berkata,
“coba sekali lagi ya Lause, tunggu sebentaar”. Ia kembali ke meja mamanya dan
mengulangi semua persiapan. Terenyuh saya dibuatnya.
Percobaan ketiga. Tidak hanya
saya dan rekan saya, mama Nadia, dan pengunjung lain pun akhirnya ikut
memperhatikan. Nadia semakin gugup. “Coba liat ya lause… 1…2…3..” Nadia menusuk
pensil ke kantung plastic dan tadaaaaa, air tidak keluar meskipun pensil sudah
menembus kedua sisi kantung tsb. Sulap berhasil. Semua tepuk tangan. Nadia
senang. Kami lega. Saya terharu.
Tidak mudah untuk berada di
posisi Nadia saat itu. Memberanikan diri untuk menunjukkan sesuatu ke orang
lain saja sudah sulit, apalagi ini termasuk orang yang dikagumi (ehem), tidak
ada bayangan akan kegagalan. Tidak sedikitpun harapan untuk itu muncul. Namun
kadang realita tidak ingin semua yang kita harapkan terjadi. Muncullah hal tak
terduga yang membuat apa yang kita rencanakan berantakan. Shocking moment. Bingung, malu, dan don’t know what to do pasti berputar-putar di pikiran Nadia saat
itu, mungkin di pikiran kita juga jika kita ada di posisinya. Hanya saja, tidak
setiap kita yang merespon secepat dan setepat Nadia. Banyak dari kita yang
terlalu lama dalam shocking moment
dan akhirnya malah menyalahkan sana-sini. Terlalu lama dalam kejatuhan membuat
kita mulai malas untuk mencapai apa yang sebelumnya menjadi target kita. Ah,
sudahlah, begini saja. Susah ah, nanti gagal lagi, dll dll adalah kalimat
negatif yang menghantui kita selama masa kejatuhan tidak kita tangani. Rasa pesimis
dan antek-anteknya ini akan semakin mencengkram kita untuk doing nothing except
moaning. Wew, so scary, right?
Lantas, bagaimana menaklukan
shocking moment itu?
Mari belajar ala Nadia. Yang pertama,
ubah focus coping. Nadia bisa
mengubah fokusnya dengan cepat dari “oh my God why?” ke “ what should I do? What
to do to make it right?” Nadia mengubah emotional
focus copingnya menjadi problem focus
coping. Fokus pada masalah dan cara penyelesaiannya. Nadia mungkin tidak
mengerti teori ini, namun bisa jadi dia lebih aplikatif dari kita dalam
menggunakannya. Ia segera mengevaluasi apa yang mungkin salah dalam percobaan
pertamanya dan mulai melakukan percobaan kedua. Yang kedua, she hold her target tightly. Dia tetap
memegang tujuannya, itulah yang membuat langkah-langkah selanjutnya terfokus
untuk mencapai tujuannya. Tujuan yang simple “mau kasih liat Lause sulap” itu
ia pegang sehingga ia berusaha keras mewujudkannya. Sekuat apa kita memegang
tujuan-tujuan kita? Cukup kuatkah untuk membuat kita pantang menyerah ketika
kita menemukan kata gagal, jalan buntu, atau penolakan? Semakin kita yakin akan
tujuan kita, semakin kita kuat memegang tujuan kita, semakin kita mampu
melepaskan diri dari shocking moment ketika gagal. Yang ketiga, She has hope. Harapan. Ia memiliki
harapan tersendiri yang ia dapatkan jika apa yang dilakukannya berhasil.
Harapan akan hal menyenangkan yang menimbulkan keberaniannya, harapan yang
mendorongnya untuk tetap berusaha, harapan yang akhirnya secara tidak langsung
membuatnya berhasil. Harapannya saat itu mungkin sangat sederhana, harapan anak
kecil yang ingin dipuji oleh lausenya (ehem, lagi). Namun hal yang sederhana
saja mampu membuatnya berhasil. Bagaimana dengan kita yang dewasa? Apakah kita
memiliki harapan tertentu yang membuat mata kita berbinar? Harapan yang mampu
menjadi motor penggerak passion kita? Find it, and you’ll know the strength.
Tidak mudah, tapi tidak mustahil.
Jadi, sudah siap melakukan sulap?
Let’s practice together.
*lause: guru