Jumat, 12 Agustus 2016

Sulap Ala Nadia



Suatu siang saat istirahat, saya dan teman kantor memilih salah satu tempat makan untuk bersantap siang yang kebetulan milik orangtua dari salah satu murid SM saya. Anak itu bernama Nadia. Pada saat tiba disana, ternyata Nadia juga sedang disana. Kami saling sapa dan menanyakan kabar. Nadia ini usianya sekitar 8 tahun. Kelas 2 SD. Saat kami akan selesai makan, Nadia yang dari tadi sibuk berbisik-bisik dengan mamanya akhirnya memberanikan diri datang ke meja kami.

Nadia    : “ Lause, Nadia mau kasih liat lause sulap”
Saya     : “oh, ya? Sulap apa?”
pict from google
Nadia   : “ini ada tadi diajarin di sekolah” ujarnya sambil mengisi air ke dalam kantung plastik kecil. “ Nah, nanti kantung ini Nadia tusuk pake pensil, airnya ga bocor loh lause…”
Saya     : “Liat dong… kok bisa?”
Nadia   : “bisa…. Liat ya 1…2…3..” byarr… air muncrat kemana-mana.
Sulapnya gagal. Nadia syok. Saya terdiam. Mama Nadia dan teman saya pucat. Ups. Someone will crying in 3…2…1… Mungkin itu yang ada dipikiran kami bertiga sebagai orang dewasa. Mencoba bersikap sebiasa mungkin agar Nadia tidak malu dan akhirnya menangis. “Ma, apa yang salah? Kok gagal?” ujar Nadia dengan bingung. Harapannya membuat kagum si lause seperti sirna. Tiga orang dewasa disana segera bereaksi menenangkan Nadia. “gapapa, Nad, nanti dicoba lagi saja”, “oh mungkin plastiknya bocor”, dll, dll. Kami yang rencananya sudah mau beranjak dari sana pun dalam diam sepakat untuk menunggu reaksi Nadia selanjutnya. 

“Lause tunggu sebentar, harusnya bisa. Nadia ganti plastik dulu. Mama mana plastik yang lain?” Sedikit lega merayap ketika ketakutan kami dia akan menangis ternyata tidak terjadi. Saya dan teman saya pun akhirnya memutuskan memberi kesempatan Nadia sekali lagi. Saya melihat betapa semangatnya dia mengganti plastik, mengisi air, mengecek pensil, dan berulang kali bertanya ke mamanya kalau semuanya sudah benar dan tepat. Dia kembali ke kami dan mulai mencoba mengulangi sulapnya. “Lause liat ya, kali ini harusnya berhasil. 1..2..3” byarrr! Untuk kedua kalinya air itu tumpah lagi, plastiknya bolong lagi. Kami seperti dejavu. Di luar dugaan, tidak seperti sebelumnya yang dia terdiam lama, kali ini Nadia langsung berkata, “coba sekali lagi ya Lause, tunggu sebentaar”. Ia kembali ke meja mamanya dan mengulangi semua persiapan. Terenyuh saya dibuatnya.

Percobaan ketiga. Tidak hanya saya dan rekan saya, mama Nadia, dan pengunjung lain pun akhirnya ikut memperhatikan. Nadia semakin gugup. “Coba liat ya lause… 1…2…3..” Nadia menusuk pensil ke kantung plastic dan tadaaaaa, air tidak keluar meskipun pensil sudah menembus kedua sisi kantung tsb. Sulap berhasil. Semua tepuk tangan. Nadia senang. Kami lega. Saya terharu.

Tidak mudah untuk berada di posisi Nadia saat itu. Memberanikan diri untuk menunjukkan sesuatu ke orang lain saja sudah sulit, apalagi ini termasuk orang yang dikagumi (ehem), tidak ada bayangan akan kegagalan. Tidak sedikitpun harapan untuk itu muncul. Namun kadang realita tidak ingin semua yang kita harapkan terjadi. Muncullah hal tak terduga yang membuat apa yang kita rencanakan berantakan. Shocking moment. Bingung, malu, dan don’t know what to do pasti berputar-putar di pikiran Nadia saat itu, mungkin di pikiran kita juga jika kita ada di posisinya. Hanya saja, tidak setiap kita yang merespon secepat dan setepat Nadia. Banyak dari kita yang terlalu lama dalam shocking moment dan akhirnya malah menyalahkan sana-sini. Terlalu lama dalam kejatuhan membuat kita mulai malas untuk mencapai apa yang sebelumnya menjadi target kita. Ah, sudahlah, begini saja. Susah ah, nanti gagal lagi, dll dll adalah kalimat negatif yang menghantui kita selama masa kejatuhan tidak kita tangani. Rasa pesimis dan antek-anteknya ini akan semakin mencengkram kita untuk doing nothing except moaning. Wew, so scary, right

Lantas, bagaimana menaklukan shocking moment itu?
Mari belajar ala Nadia. Yang pertama, ubah focus coping. Nadia bisa mengubah fokusnya dengan cepat dari “oh my God why?” ke “ what should I do? What to do to make it right?” Nadia mengubah emotional focus copingnya menjadi problem focus coping. Fokus pada masalah dan cara penyelesaiannya. Nadia mungkin tidak mengerti teori ini, namun bisa jadi dia lebih aplikatif dari kita dalam menggunakannya. Ia segera mengevaluasi apa yang mungkin salah dalam percobaan pertamanya dan mulai melakukan percobaan kedua. Yang kedua, she hold her target tightly. Dia tetap memegang tujuannya, itulah yang membuat langkah-langkah selanjutnya terfokus untuk mencapai tujuannya. Tujuan yang simple “mau kasih liat Lause sulap” itu ia pegang sehingga ia berusaha keras mewujudkannya. Sekuat apa kita memegang tujuan-tujuan kita? Cukup kuatkah untuk membuat kita pantang menyerah ketika kita menemukan kata gagal, jalan buntu, atau penolakan? Semakin kita yakin akan tujuan kita, semakin kita kuat memegang tujuan kita, semakin kita mampu melepaskan diri dari shocking moment ketika gagal. Yang ketiga, She has hope. Harapan. Ia memiliki harapan tersendiri yang ia dapatkan jika apa yang dilakukannya berhasil. Harapan akan hal menyenangkan yang menimbulkan keberaniannya, harapan yang mendorongnya untuk tetap berusaha, harapan yang akhirnya secara tidak langsung membuatnya berhasil. Harapannya saat itu mungkin sangat sederhana, harapan anak kecil yang ingin dipuji oleh lausenya (ehem, lagi). Namun hal yang sederhana saja mampu membuatnya berhasil. Bagaimana dengan kita yang dewasa? Apakah kita memiliki harapan tertentu yang membuat mata kita berbinar? Harapan yang mampu menjadi motor penggerak passion kita? Find it, and you’ll know the strength. 
 Tidak mudah, tapi tidak mustahil.

Jadi, sudah siap melakukan sulap?
Let’s practice together.


*lause: guru
 

Tempat Mengungkap yang Tak Terucap Template by Ipietoon Cute Blog Design