Saya sedang duduk sendirian di
sebuah toko donat dengan agak bosan ketika melihat peristiwa yang menarik
perhatian saya di hari Minggu yang lalu. Dari dalam toko saya tidak sengaja melihat
ada seorang pria tampan di luar sana yang sedang berbicara via telepon.
Dari kejauhan terlihat sekali gesturenya yang sedang meluapkan emosi dengan
orang yang entah siapa di seberang telepon sana. Cukup lama saya mengamati
kejadian tersebut, menghitung berapa kali orang itu mengangkat tangan dan
berputar-putar sambil marah-marah. Saya membayangkan permasalahan apa yang
dibahas sehingga amarahnya terlihat sejelas itu, mungkin perihal bisnisnya di
luar kota yang tidak lancar, mungkin karena masalah keluarga yang cukup pelik,
dan mungkin-mungkin lainnya. Satu hal yang pasti, ia sedang kehilangan alasan
untuk berbahagia.
Peristiwa itu sedikit menyinggung
saya yang sedang merasa bosan dan jenuh dengan kepelikan yang ada. Dibandingkan
dengan pria tadi, hari minggu saya jauh lebih menyenangkan meski terasa
melelahkan. Minimal saya masih bisa menikmati dua potong donat dan es coklat
yang menyegarkan sore itu.
Selama hidup, ada waktu-waktu
dimana kita sedang merasa berada dalam titik jenuh yang terendah akibat masalah
yang dihadapi bertubi-tubi atau dirasa terlalu berat. Ada waktu dimana kita terlalu
marah dan menyerah dengan keadaan yang sangat diluar dugaan sehingga akhirnya bersikap
seperti zombie. Mayat hidup. Hidup hanya berjalan sesuai rutinitas, kehilangan
passion, frustasi dengan keadaan sendiri, kesepian, dan bosan. Semua berjalan
begitu lambat, tapi juga begitu cepat. Hari dilalui tanpa memberi arti. Saya juga
sempat mengalaminya. Rasanya menderita sekali. Sulit sekali menemukan
celah untuk bisa bahagia dalam kondisi tersebut. Fase yang berat bagi seorang
Lia yang memiliki konsep hidup: bahagia itu sederhana. Kenapa berat? Karena saat
jenuh sulit sekali peka terhadap hal kecil yang sebenarnya membahagiakan. Semua
terasa flat. Masalah terlihat 1000x lebih besar dari yang sebenarnya. Psikosomatis
datang dengan berbagai muka. How can I handle it?
Apa maksudnya ini? Kenapa harus
ada fase ini?
Ada hal yang unik yang saya
rasakan ketika saya menghadapi fase ‘zombie’ ini. Saya seperti tidak diijinkan
untuk ‘keluar’ dari rutinitas untuk menghilang sejenak. Saya sempat bertanya,
kenapa? Tidak semua pertanyaan ‘kenapa’ saya terjawab, namun ada poin-poin yang
sepertinya ingin ditunjukkan oleh yang Kuasa kalau semua masih dalam
pengawasannya. Everything is under control, sweetheart. Just do your part. Dalam
ketidaklayakan saya, saya masih dipercayakan banyak hal. Dalam kelemahan saya,
saya masih diberi kesempatan untuk menguatkan. Dalam keterasingan dan kegalauan
saya, saya masih dianggap mampu untuk menghibur orang yang sedang gundah gulana.
Sebuah paradoks dari penggalan kalimat di film yang pernah saya tonton yang juga pertanyaan dari paket komplit: “kalau
kamu tidak bahagia, bagaimana kamu bisa membahagiakan orang lain?” well, I can’t
say I’m happy at that time. I have my own problems, but they still need me, and I have responsibility to help them finding their happiness. Aneh, kan? Tapi saya
melihat disitu seninya. Saya lebih suka mengganti kata aneh dengan unik, btw.
Seninya dimana?
pict from google |
Kebosanan dan ‘ketidakbahagiaan’
saya membuat saya lupa kalau saya masih memiliki keluarga yang sangat mencintai
saya. Keluarga yang selalu mendoakan saya. Keluarga yang meski terkadang tidak
sedarah namun sangat tulus memperhatikan saya. Orang-orang terdekat dan yang terkasih yang selalu mendukung saya. Doa mereka yang tidak saya
dengar namun pasti sampai ke yang Maha secara tidak langsung menguatkan saya.
Perlindungan dari yang Maha itu sendiri juga menguatkan saya. Dalam kelemahan
saya, kuasaNya sempurna. Seorang sahabat berkata realita yang menyakitkan
bertujuan untuk menyadarkan saya betapa saya tidak sanggup sendiri. Saya membutuhkan
Dia yang tidak pernah absen menjaga. Saya harus bergantung, dan harus
bergantung pada yang tepat. Salah bergantung hanya membuat saya semakin kecewa
dan terpuruk. Keluarga, partner, sahabat, dan orang terdekat lah yang membuat saya kembali
mengingat itu. Mereka yang mengingatkan saya mengenai kebahagiaan sejati. Kebahagiaan
yang tidak dipengaruhi oleh kondisi. Kebahagiaan yang tetap ada meskipun saya
sedang melewati zombie phase. Manusia bisa lengah, tetapi Tuhan tidak. Manusia bisa
mengecewakan, tetapi Tuhan tidak. Manusia bisa pergi, tetapi Tuhan tidak. Ia akan
selalu setia menemani kita melewati berbagai tahap kehidupan, termasuk zombie
phase. Depend on Him, you’ll find strength to face anything. Semua tahap
kehidupan memiliki seni dan keindahannya sendiri, Ia telah membuat segala
sesuatu indah pada waktuNya (baca ini).
Mari menikmati seni hidup dan
berkehidupan.