Kali ini saya akan bercerita
sedikit mengenai hasil perenungan mengenai nabi Samuel.
Bacaan: 1 Samuel 16:1-10
Kita semua tahu
bahwa nabi Samuel adalah nabi yang diutus Tuhan untuk mengurapi raja. Dia hanya
tahu bahwa tugasnya adalah mengurapi raja, tanpa tahu siapa yang akan dia
urapi. Untuk mengurapi raja, ia harus menempuh perjalanan jauh dan berbahaya (Samuel
berangkat dari Rama ke Betlehem, kalau cek di google jaraknya sekitar 9338.5 km
dan waktu itu belum ada mobil atau pesawat ya teman-teman). Meskipun perintah
yang ia terima berat, ia tetap optimis karena ia tahu bahwa tugasnya mulia.
Setelah
perjalanan panjang, akhirnya ia berhasil menemui Isai, orang tua dari calon
raja. Ketika dia tahu anaknya Isai keren-keren, Samuel senang. “ Yes! My mission will accomplished soon!”
pikirnya. Saking semangatnya, Samuel jadi terobsesi dengan sosok raja dalam
bayangannya. Tegap, gagah, beribawa, dan berpengalaman. But, what happen next?
Setiap anak Isai
yang akan dia urapi, Tuhan menolak mereka. “Bukan dia” kata Tuhan. Ekspektasi
Samuel tidak sejalan dengan maunya Tuhan.
Disini saya
mencoba memahami perasaan Samuel saat itu. Kalau saya yang jadi Samuel, mungkin
saya akan berpikir begini: “Yaelah
Tuhan, kan orang ini bagus, lahir dari keluarga yang Tuhan pilih, anak dari
Isai. Apalagi yang kurang? Aku sudah jauh loh kesini. Capek. Tadi ada yang
tegap dan gagah Tuhan ga mau, ada yang beribawa Tuhan juga ga mau, ini yang
berpengalaman juga Tuhan tolak. Maunya Tuhan itu yang mana?” (ps: untungnya
saya bukan Samuel :p) Saat itu sepertinya Samuel mulai frustasi karena
obsesinya sendiri. Sampai Tuhan bilang, manusia melihat rupa, tetapi Aku
melihat hati. Samuel akhirnya nurut lagi. Sampai anak Isai habis dipamerin,
ternyata belum ada yang cocok menurut Tuhan. Akhirnya Samuel bilang gini kira-kira:
“ini aja ya anakmu? Ga ada yang lain?” kalau saya boleh mencoba share, perasaan yang saya rasakan pada
Samuel saat itu, perkataan terakhir itu diucapkan dengan tidak bersemangat sama
sekali. Kalau saya jadi Samuel (lagi), mungkin saya sudah protes ke Tuhan, “
Tuhan, kenapa Tuhan ga kasih tau aja maunya Tuhan itu yang mana? Jangan gantung
begini, dari tadi Tuhan mengijinkan satu per satu orang yang tidak layak untuk
dipertemukan ke aku. Why, God, why??”
(sekali lagi, untung Samuel bukan saya xP)
Dalam kondisi
seperti itu, Isai akhirnya bilang: “ ada sih 1 lagi, tapi lagi di padang, lagi
gembalain domba” (setengah hati juga kayaknya ngomongnya). Nyessssss… hati Samuel berasa dikasih air segar. Ada harapan lagi.
Ia akhirnya minta Daud dipanggil untuk ketemu dengannya. Ketika Daud datang,
saya rasa Samuel kaget. Kondisi dan keberadaan Daud sangat berbeda dengan
profil raja yang ia bayangkan. Tapi dialah yang dipilih Tuhan. Ketika Daud
datang, Tuhan tidak menunda apapun lagi, langsung minta Samuel mengurapi Daud. This is it, now we have the right man, in
the right place, on the right time.
Dari sedikit uraian di atas
(dengan bahasa sederhana), apa yang didapat? Setidaknya ada 3 hal yang bisa
saya petik:
1. Kadang
kita harus menempuh perjalanan yang tidak singkat dan tidak mudah untuk
mencapai tujuan Allah untuk diri kita yang seringkali kita tidak mengetahui
secara spesifik. Bisa jadi kita akan bingung seperti nabi Samuel, tapi
disanalah providensia Allah dinyatakan. Samuel
did it! Perfectly. Bukan karena Samuel nabi besar yang telah berpengalaman,
tapi karena penyertaan Tuhan. Tugas Samuel hanya menjalankan instruksi dari
Tuhan. Tuhan memang tidak serta merta memberi tuntunan langsung dari A-Z di
awal perjalanan. Ia memberikannya bagian per bagian. Hasil akhir tetap jadi
kejutan. Supaya apa? Supaya Samuel berserah penuh pada Tuhan, supaya dia tidak
jatuh dalam kesombongan ketika berhasil, dan supaya dia mampu memaknai tiap
bagian yang ia lalui. Sama seperti ketika kita main game. Tidak ada game yang
memberi petunjuk langsung dari awal sampai akhir. Karena tiap bagian memiliki
kesulitannya sendiri. Kita harus dimampukan dulu dalam satu tahap untuk dapat
berhasil melewati tahap berikutnya. Sehingga ketika mencapai bagian akhir, kita
siap.
2. Tuhan
terkadang sengaja mempertemukan kita dengan yang salah baru diberi tahu yang
benar. Supaya apa? Supaya obsesi dan pandangan pribadi kita yang tidak sejalan
dengan Allah terkikis terlebih dahulu. Sampai kita benar-benar mengerti maunya
Tuhan. Awalnya Samuel masih mencari "the next Saul" bukan "the next king" karena di dalam bayangannya raja itu ya Saul. Samuel tidak sepenuhnya salah, karena ia memang belum mengetahui raja ideal itu seperti apa. Ia masih belajar. Trial and eror. Ia menggunakan role model yang ada untuk membangun sosok raja dalam pikirannya. Oleh karena itulah Tuhan menunjukkan padanya mana yang dianggap manusia baik, dan mana yang menurut Tuhan benar-benar baik. Tuhan mengajar Samuel untuk mengerti maunya Tuhan. Tuhan juga tidak memberi tahu, Lia, kamu tahun depan akan begini dan begitu.
Tapi dia menunjukkannya melalui proses keseharian kita. Kenapa? Karena kita
manusia, bukan robot. Tuhan tetap menginginkan campur tangan kita dalam kisah
hidup kita sendiri. Kita dilibatkan secara penuh olehNya. Dia memanusiakan
kita. Manis ya? :’)
Kita sering
bertingkah seperti Samuel, putus asa ketika semua yang kita lakukan sepertinya
masih belum sesuai dengan keinginan Tuhan. Patah arang ketika semua yang kita
lihat ternyata bukan yang terbaik untuk kita. Tapi itulah intinya. Pengalaman.
Ketika Tuhan menganggap akhirnya Samuel mengerti, baru Ia ijinkan Samuel tahu
bahwa ada anak Isai yang lain. Kejutan! Tuhan memberikan harapan pada mereka
yang putus asa. Betapa membahagiakannya itu? Kita bisa bayangkan bagaimana
serunya Samuel bercerita ke temannya yang lain ketika ia melihat harapan itu?
Ilustrasinya mungkin begini: “aku udah ga tau mau gimana lagi waktu itu, anak
Isai ga ada yang cocok menurut Tuhan, eh ternyata ada satu anak lagi yang belum
aku temui!” I can feel that enthusiasm.
Been there done that. Semangat Samuel pasti sekian kali lipat berkobar
menunggu si bungsu. Harapan penuh.
Ketika Daud
tiba… This is the last exam for Samuel…
“what? That little cute boy? Is he the next
king?? Are you sure, God??
Disini ujian
terakhir untuk Samuel. Tuhan mau melihat sejauh mana Samuel taat.
3. Taat.
Sejauh mana kita
taat dan tetap percaya kalau apa yang kita terima adalah yang terbaik?
Seandainya saya jadi Samuel dulu (maaf saya banyak berangan jadi Samuel,
namanya juga refleksi diri, hehehe) mungkin akan sangat berat untuk mengurapi
Daud. “ Tuhan, yang sebelumnya tadi jauh lebih cocok loh…” Disinilah keegoisan
kita sebagai manusia dilebur. Bukan kehendak kita yang jadi, tapi kehendak
Tuhan. Samuel saat itu belum tahu apa yang akan terjadi sama bangsanya di
tangan Daud. Jangankan Samuel, Daud juga pasti belum tahu. Tapi Samuel percaya.
Ia taat, ia beriman, Tuhan tidak pernah salah ( insert Trust His Heart song as backsound here).
Saya, Anda, atau
kita mungkin sekarang sedang ada di kondisi seperti Samuel. Bisa jadi ada di
bagian yang berbeda. Mungkin seseorang sedang ada di bagian dalam perjalanan
awal. Ada yang berada di bagian yang dihadapkan dengan pilihan yang salah. Atau
ada yang sedang mengikuti ‘ujian akhir’.
Di kisah Samuel,
dia melihat kalau Tuhan memang tidak salah bertahun kemudian. Kita mungkin belum
mencapai tahap itu, namun lewat tulisan ini, semoga kita bisa saling
menguatkan, bahwa Tuhan sedang merajut hal yang indah. Saya rasa kita lebih
beruntung dari Samuel. Kita masih bisa sharing dengan partner rohani. Samuel?
Belum tentu bisa, sharing sama siapa coba? Saul? Bisa langsung dihukum mati dia
kalau berani sharing tentang pengganti raja ke raja yang masih eksis. Saat itu
dia memang mampu untuk berbagi pikiran dengan Tuhan secara langsung. Saat ini,
Tuhan mengerti kemampuan kita. Makanya Ia menyediakan kita teman berbagi,
fasilitas untuk mengerti Dia lebih lagi. Gunakan itu selagi free… Pakai semua hal yang bisa
dimanfaatkan, semua kejadian yang muncul, semua pengetahuan yang ada untuk
mengenal Dia lebih dalam, agar semakin banyak hint/ life yang terbuka bagi kita untuk menyelesaikan tujuanNya.
Our life story is written by God. And it’s
always beautiful at His time... Trust Him
Semoga tulisan ini
memberkati… GBU