Kepada: Ce Yuki
Cece masih ingat pertama kali kita ketemu? Iya, yang di tangga gereja itu, waktu aku bareng sama orang tua anak SM. Aku mencoba membayangkan apa jadinya kalau pemudi pertama yang kami temui bukan cece, barangkali surat ini tidak akan tercipta. Coba bayangkan seandainya saat itu cece pulang sedikit lebih cepat, mungkin tidak akan terjadi pertemuan di tangga itu, dan mungkin saat ini aku tidak akan aktif berkegiatan di gereja. Kebetulan? Sepertinya tidak. Tuhan sudah merencanakan hari itu. Tuhan sudah mengatur waktu tersebut dengan sedemikian rupa. Tuhan sudah menyatakan bahwa hari ini sudah waktunya laut bertemu dengan langit.
Laut? Langit? Apa itu? Maaf kalau aku agak angkuh kalau menganalogikan diri sendiri dengan laut dan mencari persamaan cece dengan langit. Mari kita bedah satu-satu mengapa dua kata itu yang terlintas untuk menganalogikan kita.
Laut.
Cece tahu sifat laut? Kadang tenang, kadang sedikit berombak, kadang mengerikan. Dari kejauhan laut hanya terlihat seperti kumpulan air yang berwarna kebiruan, kadang sedikit berkilau terkena pantulan cahaya, kadang gelap dan suram penuh tanda tanya. Laut bisa memilih bagaimana ia ingin terlihat. Ia bisa menunjukkan kilau dan keindahannya di suatu waktu, di waktu yang lain ia memunculkan ketenangannya, di saat yang berbeda ia bisa memecah karang karena hempasannya. Laut itu penuh misteri. Laut yang terkesan tenang bisa jadi memiliki banyak gejolak di dalamnya. Laut yang berkilau berombak belum tentu sedang berada dalam kondisi aman. Tidak ada yang tahu tentang laut itu hingga laut yang memberi tahu kondisinya. Aneh. Familiar? Iya, mirip sifatku. Selalu berubah. Sering mengenakan persona. Untuk saat ini aku masih sering dicap periang dan kenakan-kanakan. Menurut Cece? :p. Sampai ada teman baik yang dulu bilang begini: if someone tell you that she knows you so well, she was wrong, Lia. You’re unpredictable person.
Ok, segitu dulu tentang laut. Sekarang langit.
Langit itu di atas. Konstan. Stabil. Segelap apapun awan menutupinya, langit akan tetap biru setelah awan pergi. Anggun sekali, bukan? Aku selalu menyukai langit. Saat siang warnanya cerah. Saat malam ia hadir dengan bertahtakan bintang. Megah. Cantik. Tidak ada yang tidak suka langit. Pertama kali aku lihat Cece, aku berpikir begini: orang ini suaranya lembut sekali. Tenang sekali. Kayaknya bu Lina salah ngenalin orang, deh. Jangan-jangan nanti aku diajak jadi pendeta hahahahaha. Sifat cece menurutku sangat cocok dengan sifat langit. Tenang, baik, dan selalu berusaha menyukakan semua orang. Meski kadang mengorbankan perasaan sendiri (eaaak).
Laut dan langit. Berbeda sekali, bukan? Sangat. Aku tidak menyangka pertemuan pertama kita yang sangat biasa itu bisa berlanjut sampai sekarang. Jika dilihat dari sifat masing-masing, orang seperti kita paling lama hanya bertahan dalam hitungan bulan jika berhubungan. Saking bedanya. Hahahahaa. Siapa yang tahu jika laut dan langit yang sangat bertolak belakang itu bisa klop dalam segala pembicaraan? Siapa yang menyangka jika laut dan langit yang sangat jauh itu bisa jadi partner in crime (?)
We talk about everything, and everytime we talked I feel that ourself keep growing, especially in God. Can you realize how beautiful it is? Perjumpaan kita belum lama, baru setahun. Namun setahun singkat itu sangat berkualitas menurutku. Kuharap cece juga berpikiran begitu. Kita kerap membahas apapun dari sisi yang berbeda. Aku dengan pemikiranku dan cece dengan pemahamanmu. Semakin kita bahas, semakin kita merasa diberkati. Bahkan untuk hal-hal yang awalnya kita anggap sepele. Cece mengajarkanku banyak hal. Cece menyemangati dengan cara-cara unik (kadang aneh). Aku senang, setelah 2 tahun vakum melayani di Jambi, cece memperkenalkanku kembali dengan yang namanya pelayanan. Terima kasih cece, terima kasih untuk semuanya, semoga seterusnya kita bisa tetap saling membangun dalam Tuhan, ya, Langit.
*ditulis untuk tantangan twitter #30HariMenulisSuratCinta
*ditulis untuk tantangan twitter #30HariMenulisSuratCinta