Rabu, 16 Maret 2016

Revolusi Mental yang Mental

Peristiwa 1:
Sepasang ABG mengendarai motor tanpa mengenakan helm. Saat di persimpangan jalan, mereka tidak sabar menunggu perubahan lampu lalu lintas menjadi hijau, akhirnya mereka melanggar lampu merah sehingga menyebabkan kemacetan.

Peristiwa 2:
Sekelompok pemudi berseragam sedang makan di sebuah warung soto. Terdengar percakapan seperti ini:
A             : Eh, abis istirahat balik kantor ya? Absenin aku ya, lagi malas ngantor, ga jelas.
B             : Aku ga balik kantor, mau jahit kebaya,  si X yang mungkin balik kantor, minta absenin dia aja.

Peristiwa 3:
Bapak-bapak menyerobot antrian ATM, ketika diingatkan dengan sopan malah marah-marah dan bawa-bawa nasihat kalau orang tua yang harus dihormati.

Peristiwa 4:
Ibu-ibu bawa motor matic nyalip lewat kiri kemudian belok ke kanan dengan menyalakan lampu sein yang kiri.

Dulu ketika maraknya kampanye pemilihan presiden saya sangat menyukai gagasan yang dibawa oleh salah satu capres yang sekarang sudah jadi presiden. Revolusi mental namanya. Di benak saya sudah terbayang betapa indahnya jika pemerintahan dipenuhi manusia bijak penuh hikmat berhati malaikat. Saya mendukung penuh gerakan ini. Seiring berjalannya waktu, saya semakin menyadari, bahwa tidak hanya pejabat pemegang kekuasaan tinggi yang butuh direvolusi mentalnya, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat dari berbagai komponen.

Peristiwa-peristiwa yang membuka tulisan ini adalah segelintir contoh nyata bahwa masih sangat banyak orang yang mentalnya perlu direvolusi. Ketidaktaatan pada peraturan yang sederhana merupakan bentuk dari mental yang’sakit’. Banyak dari kita (mungkin termasuk saya) yang suka melanggar aturan yang berakibat merugikan orang lain. “Ah, sepele, kok, kan yang penting ga korupsi”  atau “ jarang-jarang kok buang sampah sembarangan, cuma bungkus permen ini” adalah contoh tipe kalimat yang secara tidak sadar sering kita jadikan pembenaran saat kita melenceng dari aturan yang ada. Seolah kesalahan orang lain yang lebih besar bisa membuat kita menjadi ‘tidak bersalah’. Padahal, salah tetap salah, meskipun orang lain kesalahannya lebih banyak, tidak akan membuat pelanggaran yang kita lakukan bisa dibenarkan.

Mengamati kondisi ini, saya jadi berpikir kembali, sudah sejauh mana progres revolusi mental ini terjadi? Apakah hanya pejabat dan presiden yang wajib direvolusi mentalnya? Sudah berapa banyak yang sadar bahwa perilaku kita juga harus diperbaiki? Saya jadi ragu, jangan-jangan orang-orang yang berteriak meminta pemerintahan bersih ternyata dalam kesehariannya juga sering buang sampah atau puntung rokok sembarangan. Jangan-jangan yang  sering mengkritik moral para pejabat adalah salah seorang yang suka melanggar lampu lalu lintas. Jangan-jangan kita hanya menganggap yang wajib memiliki mental ‘sehat’ itu hanya orang-orang tertentu atau wakil rakyat saja? Jika itu yang kita pikirkan, maka wajar saja gerakan revolusi mental ini menjadi mental.

Coba kita telaah kembali, berapa banyak dari kita yang masih suka berpikir “ah, entar ajalah dateng kesana, telat 5 menit gapapalah, paling acaranya molor setengah jam”, atau seberapa sering kita seperti pasangan ABG di atas, menerobos lampu merah karena merasa 1 menit kita sangat berharga? Berapa kali kita membatalkan janji tanpa konfirmasi karena merasa sudah akrab? Seberapa sering kita meminta maaf ketika melakukan kesalahan yang menurut kita ‘sepele’? disadari atau tidak, mental yang tertanam di budaya saat ini masih membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar. Karena banyak yang terlambat kalau mau mulai acara, dibuat spare waktu setengah jam antara jadwal tertulis dan jadwal ‘real’. Membenarkan yang biasa. Seharusnya yang dilakukan adalah sebaliknya. Membiasakan yang benar. Jika hal-hal yang kecil dan sederhana saja tidak bisa kita lakukan dengan setia, bagaimana kita bisa dipercayakan hal yang lebih besar? Semua dimulai dari membiasakan hal benar meski terkesan kecil. Membiasakan tepat waktu. Membiasakan tepat janji. Membiasakan tepat aturan. Tidak korupsi uang, tidak korupsi waktu, tidak korupsi kepercayaan. Mudah? Sama sekali tidak. Namun bukan berarti tidak mungkin. Pilihan ada di tangan kita, mau ikut dalam kaum yang bergerak merevolusi mental, atau mau termasuk dalam golongan yang revolusi mentalnya mental. Silahkan dipilih, silakan dimulai dari diri sendiri. Mulai dari hal kecil. Mulai dari sekarang.


Mari berkontemplasi.
 

Tempat Mengungkap yang Tak Terucap Template by Ipietoon Cute Blog Design