Peristiwa 1:
Sepasang ABG mengendarai motor tanpa mengenakan helm. Saat di
persimpangan jalan, mereka tidak sabar menunggu perubahan lampu lalu lintas
menjadi hijau, akhirnya mereka melanggar lampu merah sehingga menyebabkan
kemacetan.
Peristiwa 2:
Sekelompok pemudi berseragam sedang makan di sebuah warung soto. Terdengar
percakapan seperti ini:
A : Eh, abis
istirahat balik kantor ya? Absenin aku ya, lagi malas ngantor, ga jelas.
B : Aku ga balik kantor, mau jahit
kebaya, si X yang mungkin balik kantor,
minta absenin dia aja.
Peristiwa 3:
Bapak-bapak menyerobot antrian ATM, ketika diingatkan dengan sopan
malah marah-marah dan bawa-bawa nasihat kalau orang tua yang harus dihormati.
Peristiwa 4:
Ibu-ibu bawa motor matic nyalip lewat kiri kemudian belok ke kanan
dengan menyalakan lampu sein yang kiri.
Dulu ketika maraknya kampanye pemilihan presiden saya sangat menyukai
gagasan yang dibawa oleh salah satu capres yang sekarang sudah jadi presiden.
Revolusi mental namanya. Di benak saya sudah terbayang betapa indahnya jika
pemerintahan dipenuhi manusia bijak penuh hikmat berhati malaikat. Saya mendukung
penuh gerakan ini. Seiring berjalannya waktu, saya semakin menyadari, bahwa tidak
hanya pejabat pemegang kekuasaan tinggi yang butuh direvolusi mentalnya, tetapi
juga seluruh lapisan masyarakat dari berbagai komponen.
Peristiwa-peristiwa yang membuka tulisan ini adalah segelintir contoh nyata
bahwa masih sangat banyak orang yang mentalnya perlu direvolusi. Ketidaktaatan pada
peraturan yang sederhana merupakan bentuk dari mental yang’sakit’. Banyak dari
kita (mungkin termasuk saya) yang suka melanggar aturan yang berakibat
merugikan orang lain. “Ah, sepele, kok, kan yang penting ga korupsi” atau “ jarang-jarang kok buang sampah
sembarangan, cuma bungkus permen ini” adalah contoh tipe kalimat yang secara
tidak sadar sering kita jadikan pembenaran saat kita melenceng dari aturan yang
ada. Seolah kesalahan orang lain yang lebih besar bisa membuat kita menjadi ‘tidak
bersalah’. Padahal, salah tetap salah, meskipun orang lain kesalahannya lebih
banyak, tidak akan membuat pelanggaran yang kita lakukan bisa dibenarkan.
Mengamati kondisi ini, saya jadi berpikir kembali, sudah sejauh mana
progres revolusi mental ini terjadi? Apakah hanya pejabat dan presiden yang
wajib direvolusi mentalnya? Sudah berapa banyak yang sadar bahwa perilaku kita
juga harus diperbaiki? Saya jadi ragu, jangan-jangan orang-orang yang berteriak meminta pemerintahan bersih ternyata dalam kesehariannya juga sering buang sampah atau puntung rokok sembarangan. Jangan-jangan yang sering mengkritik moral para pejabat adalah salah seorang yang suka melanggar lampu lalu lintas. Jangan-jangan kita hanya menganggap yang wajib
memiliki mental ‘sehat’ itu hanya orang-orang tertentu atau wakil rakyat saja? Jika itu yang kita
pikirkan, maka wajar saja gerakan revolusi mental ini menjadi mental.
Coba kita telaah kembali, berapa banyak dari kita yang masih suka
berpikir “ah, entar ajalah dateng kesana, telat 5 menit gapapalah, paling
acaranya molor setengah jam”, atau seberapa sering kita seperti pasangan ABG di
atas, menerobos lampu merah karena merasa 1 menit kita sangat berharga? Berapa kali
kita membatalkan janji tanpa konfirmasi karena merasa sudah akrab? Seberapa
sering kita meminta maaf ketika melakukan kesalahan yang menurut kita ‘sepele’?
disadari atau tidak, mental yang tertanam di budaya saat ini masih membenarkan
yang biasa, bukan membiasakan yang benar. Karena banyak yang terlambat kalau
mau mulai acara, dibuat spare waktu setengah jam antara jadwal tertulis dan
jadwal ‘real’. Membenarkan yang biasa. Seharusnya yang dilakukan adalah
sebaliknya. Membiasakan yang benar. Jika hal-hal yang kecil dan sederhana saja
tidak bisa kita lakukan dengan setia, bagaimana kita bisa dipercayakan hal yang
lebih besar? Semua dimulai dari membiasakan hal benar meski terkesan kecil. Membiasakan
tepat waktu. Membiasakan tepat janji. Membiasakan tepat aturan. Tidak korupsi
uang, tidak korupsi waktu, tidak korupsi kepercayaan. Mudah? Sama sekali tidak.
Namun bukan berarti tidak mungkin. Pilihan ada di tangan kita, mau ikut dalam
kaum yang bergerak merevolusi mental, atau mau termasuk dalam golongan yang
revolusi mentalnya mental. Silahkan dipilih, silakan dimulai dari diri sendiri.
Mulai dari hal kecil. Mulai dari sekarang.
Mari berkontemplasi.