Sabtu, 14 November 2015

Kisah 8000 Rupiah

Siang itu saya 'terpaksa' mampir ke bengkel untuk menambal ban motor saya yang pecah. Bapak-bapak penjaga bengkel yang ramah membuat saya berkurang kesalnya atas kemalangan yang menimpa motor saya. Bapak ini dengan cekatan membuka ban dan menambalnya. Saat menunggu ban dipanaskan, ia  juga mengutak-atik motor yang dari tadi memang ada disana. Ganti oli sepertinya. Saya memperhatikan langkah demi langkah yang dilakukan bapak itu terhadap ban saya sambil mendengarkan penjelasannya mengenai penyebab ban saya pecah. "kurang angin ini, Mbak, makanya bocornya di pinggir". Penjelasannya mengingatkan saya pada papa yang selalu menerangkan ke pelanggan tentang kondisi motor mereka. Seperti dokter yang menjelaskan ke pasien tentang penyakit yang dideritanya. Sekarang ini jarang sekali saya temukan kebiasaan seperti itu. Biasanya hanya melakukan apa yang diminta konsumen dengan cepat agar makin cepat menerima bayaran. Kalau perlu mengambil kesempatan untuk mendapat untung lebih jika konsumen terlihat tidak mengerti. Setelah selesai ditambal, saya bertanya berapa biayanya. "Rp.8000,- Mbak" kata si Bapak. Harga itu memang harga standar untuk menambal ban dan tambah angin motor. Namun ketika saya memberikan uang tersebut, saya merasa sedikit ditampar.



Pikiran saya langsung terkoneksi dengan kata-kata "what if". Bagaimana jika hari itu tidak ada motor yang bannya pecah dan mampir ke bengkel ini? Bagaimana jika tidak ada pelanggan yang masuk meski hanya sekedar ganti oli atau tambah angin? Apa yang akan Bapak ini bawa ke rumahnya? Bagaimana caranya melanjutkan hidup? Pikiran yang memang berlebihan, namun bisa saja terjadi. Terlepas dari fakta bahwa Tuhan memelihara hidup semua makhluk, pikiran tersebut tidak bisa dipungkiri akan terlintas di dalam benak banyak orang.

8000 rupiah bukanlah hal yang besar bagi saya, tetapi bisa jadi bukan hal yang kecil untuk bapak tadi. Sebaliknya, tidur nyenyak di malam hari mungkin hal yang biasa bagi bapak tersebut karena lelah fisik seharian, namun jadi hal yang langka bagi saya yang sering terpikir banyak hal hingga larut malam (padahal belum berkeluarga, sigh, hahaha). Kejadian singkat 8000 rupiah tadi mengingatkan saya kembali untuk bersyukur atas apa yang telah saya miliki saat ini. Berkaca dari bapak tadi dan masa lalu saya yang bisa dibilang cukup sulit karena sering harus mengumpulkan kembali uang receh untuk bisa makan siang karena uang bulanan tak kunjung datang, saya merasa tertegur. Perubahan yang saya alami sangat besar. Sejauh mana saya sudah mensyukuri perubahan tersebut? Seberapa sering saya menghitung kembali berkat yang saya terima? Rasanya tidak sebanding dengan keluhan yang pernah saya ucapkan. Masih jauh lebih sedikit dibanding dengan rasa iri saya terhadap kehidupan orang lain yang terlihat lebih nyaman. Rumput tetangga memang sering terlihat lebih hijau.

Saya masih sering lupa, di saat saya mengidam-idamkan kehidupan orang lain, ada banyak orang di luar sana yang bermimpi untuk ada di posisi saya saat ini. Kealpaan ini membuat rasa syukur juga memudar. Tentang hal ini, saya juga pernah diberikan 'contoh' oleh Yang Maha Mengerti. Pada saat itu saya baru saja berpikir begini: " enak, ya, kalau kemana-mana ada yang jagain, nganterin, ga repot, ga was-was, aman...". Sore harinya saya mendengar percakapan dua ibu yang mengeluhkan tentang suami mereka yang terlambat jemput. "susah kalau diantar jemput begini, enakan bawa motor sendiri, ga harus nunggu lama, ga perlu dimarahin kalo yang jemput kelamaan nunggu. Bebas". Saya tertawa. Tertawa karena keluhan mereka yang dibalut dengan canda. Tertawa karena menertawakan diri sendiri. Ditegur lagi. Saya mengeluhkan apa yang saya belum miliki sementara yang lain mengeluhkan apa yang hilang dari mereka. Seperti tulisan saya sebelumnya(klik disini), keluhan membuat kita kurang peka dengan berkat yang sedang kita terima. Today is present, we should enjoy it in every part, without moaning.

Seberapa banyak dari kita yang mengalami hal serupa? Seberapa sering kita dihadapkan dengan kisah 8000 rupiah atau kisah antar-jemput tadi? Seberapa peka kita terhadap 'reminder' yang diberikan oleh Sang Pemberi Berkat? Mari bersama-sama belajar untuk bersyukur. Mari bersama-sama merayakan hidup. Mari bersama-sama menikmati bahagia.
 

Tempat Mengungkap yang Tak Terucap Template by Ipietoon Cute Blog Design