Minggu, 01 November 2015

Namanya Nino


Hari ini untuk pertama kalinya saya merasa berat mengetahui bahwa minggu depan kemungkinan besar saya tidak bisa hadir di sekolah minggu karena harus keluar kota. Kenapa? Begini ceritanya (maaf agak panjang)...

Minggu lalu Ls. Ester menginfokan bahwa ia berhalangan hadir hari ini karena satu dan lain hal, sementara Ls. Ike masih di luar kota. Mengingat keterbatasan guru di SM, saya diminta menggantikan Ls. Ester membawa cerita FT. Saat itu perasaan saya campur aduk. Bingung. Ada ketakutan, kekhawatiran, ragu, namun juga ada rasa penasaran dan excited. Saya berulang kali bertanya pada diri sendiri “Can I?” Saya belum resmi menjadi laoshi. Kelas penataran baru akan dimulai di awal November. Membawakan cerita sebelum resmi lulus menjadi laoshi membuat saya merasa menjadi laoshi prematur. Mampukah saya? Layakkah saya?

Saya mendiskusikan hal ini dengan sahabat saya yang akhirnya berkata kurang lebih begini: “tidak ada manusia yang kemampuannya dianggap cukup layak untuk mengajar anak-anak yang notabene adalah masterpiecenya Allah, namun ketika kepercayaan itu diberikan kepada kita, maka itu adalah anugrah Allah yang tidak boleh disia-siakan. Persiapkan yang terbaik, Allah yang akan memampukan”. Perkataan tersebut sangat menenangkan saya. Pelayanan, termasuk melayani di sekolah minggu adalah anugerah, kita ditunjuk bukan karena kita mampu, melainkan karena Dia yang memampukan kita. Lagipula, selalu ada yang pertama untuk setiap hal, bukan?

Masalah mental saya anggap selesai, muncul pergumulan baru yang juga membuat saya berpikir agak lama. Seperti yang saya utarakan di tulisan saya sebelumnya (klik disini), saya bukan tipe orang yang kreatif seperti laoshi-laoshi lain. Saya tidak bisa membuat bahan-bahan unik sebagai alat peraga cerita agar anak-anak tertarik. Saya bingung, bagaimana saya membawakan cerita yang bisa diperhatikan oleh para batita? Jika hanya bercerita, saya sangat yakin mereka akan bosan dan tidak mendengarkan. Menggunakan alat peraga? Saya pusing tujuh keliling mencari ide untuk menyiapkan alat peraga yang cocok. Hasilnya? Nihil. Memang bukan ahlinya disana sepertinya :p. 

Sudah tengah minggu, dan saya belum tahu bagaimana cara membawakan cerita. Hingga saat malam hari saya kembali membaca cerita yang sangat pendek tersebut. Sebenarnya cerita itu sudah saya hapal saat dua kali membaca. Namun malam itu saya lebih tertarik membaca kisah teman-teman Paulus memberi bekal daripada membaca novel yang sudah saya beli. Ketika membaca kembali, menelaah kembali, baru saya tercerahkan, cerita sederhana ini sangat aplikatif. Saya sadar saya telah terjebak dengan cara membawakan disaat saya semestinya belajar memahami apa yang mau saya bawakan. Saya terjebak dengan ‘kulit luar’ cerita, disaat saya seharusnya menemukan inti cerita untuk disampaikan. Bukan berarti alat peraga tidak penting, itu baik untuk membantu, tapi itu bukan hal yang utama. Di pengalaman pertama persiapan mengajar, saya sudah diajari untuk tidak melupakan yang terutama. Menceritakan Firman Tuhan. Memperkenalkan Tuhan. 

Setelah memahami apa yang akan saya bawakan, lebih mudah bagi saya untuk menentukan alat peraga yang akan saya gunakan. Alih-alih menggambar dan menggunting, saya memilih untuk mempersiapkan barang asli yang ada di dalam cerita dan akan menggunakan diri saya menjadi alat peraga. Saya belum tahu bagaimana pastinya nanti akan menggunakan alat tersebut, namun saya tetap mengumpulkan barang yang saya butuhkan satu per satu. Persiapan selesai. Jasmani maupun rohani.

Hari H. Hari ini. Ibadah sekolah minggu berjalan dengan baik, waktunya bagi kelas, yang artinya waktunya saya bercerita. Ketika membuka kelas dengan doa, saya masih dengan rencana awal menggunakan diri saya sebagai alat peraga, saya akan berperan sebagai Paulus. Namun selesai berdoa, saya menemukan ide yang saya anggap agak beresiko. Bukannya langsung bercerita mengenai Paulus, saya malah menanyakan ke batita tersebut seperti ini: Laoshi mau bikin mini drama, disini ada yang mau bantu laoshi buat ikut drama ga ya?” di luar dugaan, banyak jari-jari kecil yang terangkat dengan semangat. Mereka ternyata punya mental jadi artis saudara- saudara x))). Saya akhirnya membagikan satu persatu barang yang saya bawa ke mereka. Ada yang bertugas memegang tas, ada yang bertugas memegang makanan, minuman, dan yang lain memegang selimut. Anak terakhir bertugas menjadi Paulus. Disini drama, eh, cerita dimulai. Saya bercerita sambil menuntun anak-anak memerankan peran mereka. Saya mengajak ‘Paulus’ berkeliling ke teman-temannya untuk menceritakan bahwa Tuhan itu baik. Ketika Paulus ditangkap dan tidak memiliki apa-apa, disitulah tugas anak-anak lain memberikan apa yang mereka pegang ke Paulus. Mereka melakukannya dengan sukacita, bahkan ada dialog improvisasi singkat yang diutarakan teman Paulus ke Paulus dan respon Paulus setelah diberi bekal (mulai saat ini, Winona dan Nathan akan saya didik secara khusus di MBF Talent Management :p). Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, cerita ini sangat aplikatif, mereka bisa langsung melakukannya seperti tujuan pembelajaran. Tuhan mengajarkan mereka untuk memperhatikan dan mengasihi sesama. Hingga akhir cerita, kesimpulan yang ditanyakan dijawab dengan baik oleh anak-anak ini (semoga diingat juga di rumah, ya, nak :,) ). Kelegaan luar biasa mengaliri hati saya. Cerita tersampaikan dengan baik.

Selesai cerita mereka melakukan aktivitas mewarnai. Menurut saya, saat mengerjakan aktivitas adalah saat-saat emas bagi saya untuk mengenal mereka lebih lagi. Bercerita mengenai banyak hal, mendengarkan celotehan mereka. Membangun emotional bounding dengan anak-anak. Pada saat aktivitas, saya fokus dengan dua anak, abang Aaron dan Nino (anak-anak lain tetap datang dan memperlihatkan hasil karya mereka). Anak ini saya dekati karena sebelum-sebelumnya mereka selalu ditemani sang mama. Kali ini mamanya ikut ibadah, waktunya mengambil hati >;). Kami mewarnai, bekerja sama memilih warna yang akan dipakai, dan bercanda ala anak 3 tahunan. Seru sekali melihat mereka berbagi lembar kertas dan tidak bertengkar saat akan mewarnai.  Hingga akhirnya waktu ibadah selesai, kami berkeliling dan berdoa untuk menutup kegiatan hari itu. 

Saat saya membereskan alat aktivitas, saya tidak sadar ternyata Nino telah berdiri lama di belakang saya. Dia diam dengan muka tertekuk seperti mau menangis. Saya menyejajarkan diri dan bertanya: “Nino kenapa?” Nino tidak menjawab dan makin tertunduk. Saya membiarkan dia menyender di bahu dan bertanya lagi: “ada yang nakal?” Tidak ada jawaban. Saat itu mama Nino menuju ke arah kami. “mama Nino jemput tuh, kenapa sedih? Ga mau selesai ya?” Nino pun mengangguk dan mulai menangis” Saya terharu sekali dan memeluk Nino. “Laoshi kasih cokelat ya, jangan nangis, kan minggu depan datang lagi”. Nino mengangguk setuju dan tidak menekuk muka lagi. Mamanya bertanya ada apa dengan Nino, ketika saya menceritakan kejadiannya, mamanya tersenyum lebar sambil mengusap kepala Nino “lucu banget sih Nino”. Mama Nino juga berbicara, Laoshi, senang sekali tadi melihat mereka berdoa. Selama ada saya yang nungguin mereka ga pernah mau berdoa. Tadi saya lihat mereka berdoa. Ls. Desy mengiyakan dan berkata “anak-anak kalau ditinggal memang jadi lebih mandiri bu, besok  ditinggal saja”. 

Saya tidak mengikuti pembicaraan mereka lagi setelah itu. Saya masih haru biru dengan apa yang saya alami sepanjang sekolah minggu. Perasaan yang benar-benar luar biasa. Saya bingung bagaimana harus mengungkapkannya. Saya terpesona melihat bagaimana Tuhan menuntun saya membawakan cerita pertama saya. Saya terharu melihat tingkah Nino yang tidak mau berpisah. Saya ikut senang melihat pancaran bahagia dari mata sang mama yang melihat anaknya berdoa untuk kali pertama. Kejadian hari ini menambah kuat ikatan saya dengan sekolah minggu. Kerinduan untuk terlibat penuh semakin besar. Rindu sekali rasanya semakin banyak anak seperti Nino yang suka datang ke rumah Tuhan. Rindu sekali mendengar kembali ungkapan suka cita dari orang tua yang melihat perubahan baik dalam diri anak mereka. Rindu sekali dapat ikut teribat dalam pembentukan masterpiecenya Tuhan. Hal inilah yang membuat saya enggan meninggalkan kota ini meskipun hanya 1 hari minggu.

Seandainya teman-teman memiliki kerinduan yang sama dalam melayani, jangan ragu sedikitpun. Pelayanan adalah anugerah, dimanapun itu. Baik pelayanan besar maupun kecil. Kerjakan dengan sungguh dan sepenuh hati. Kita sebenarnya tidak layak, namun Tuhan yang melayakkan kita, bukankah itu adalah anugerah yang indah? Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk melayani.  Jika kita terpilih, lakukanlah dengan hati yang bersyukur. Kita telah diberikan banyak talenta, tidak maukah kita mempersembahkan kemampuan itu untuk melayani Tuhan yang telah menyelamatkan kita?

Mari renungkan bersama :)

 

Tempat Mengungkap yang Tak Terucap Template by Ipietoon Cute Blog Design