Hari ini untuk pertama kalinya
saya merasa berat mengetahui bahwa minggu depan kemungkinan besar saya tidak
bisa hadir di sekolah minggu karena harus keluar kota. Kenapa? Begini ceritanya
(maaf agak panjang)...
Minggu lalu Ls. Ester menginfokan
bahwa ia berhalangan hadir hari ini karena satu dan lain hal, sementara Ls. Ike
masih di luar kota. Mengingat keterbatasan guru di SM, saya diminta
menggantikan Ls. Ester membawa cerita FT. Saat itu perasaan saya campur aduk.
Bingung. Ada ketakutan, kekhawatiran, ragu, namun juga ada rasa penasaran dan excited. Saya berulang kali bertanya
pada diri sendiri “Can I?” Saya belum
resmi menjadi laoshi. Kelas penataran baru akan dimulai di awal November.
Membawakan cerita sebelum resmi lulus menjadi laoshi membuat saya merasa
menjadi laoshi prematur. Mampukah saya? Layakkah saya?
Saya mendiskusikan hal ini dengan
sahabat saya yang akhirnya berkata kurang lebih begini: “tidak ada manusia yang
kemampuannya dianggap cukup layak untuk mengajar anak-anak yang notabene adalah
masterpiecenya Allah, namun ketika kepercayaan itu diberikan kepada kita, maka
itu adalah anugrah Allah yang tidak boleh disia-siakan. Persiapkan yang
terbaik, Allah yang akan memampukan”. Perkataan tersebut sangat menenangkan
saya. Pelayanan, termasuk melayani di sekolah minggu adalah anugerah, kita
ditunjuk bukan karena kita mampu, melainkan karena Dia yang memampukan kita. Lagipula, selalu ada yang pertama untuk setiap hal, bukan?
Masalah mental saya anggap
selesai, muncul pergumulan baru yang juga membuat saya berpikir agak lama.
Seperti yang saya utarakan di tulisan saya sebelumnya (klik disini), saya bukan
tipe orang yang kreatif seperti laoshi-laoshi lain. Saya tidak bisa membuat
bahan-bahan unik sebagai alat peraga cerita agar anak-anak tertarik. Saya
bingung, bagaimana saya membawakan cerita yang bisa diperhatikan oleh para
batita? Jika hanya bercerita, saya sangat yakin mereka akan bosan dan tidak
mendengarkan. Menggunakan alat peraga? Saya pusing tujuh keliling mencari ide
untuk menyiapkan alat peraga yang cocok. Hasilnya? Nihil. Memang bukan ahlinya
disana sepertinya :p.
Sudah tengah minggu, dan saya
belum tahu bagaimana cara membawakan cerita. Hingga saat malam hari saya
kembali membaca cerita yang sangat pendek tersebut. Sebenarnya cerita itu sudah
saya hapal saat dua kali membaca. Namun malam itu saya lebih tertarik membaca
kisah teman-teman Paulus memberi bekal daripada membaca novel yang sudah saya
beli. Ketika membaca kembali, menelaah kembali, baru saya tercerahkan, cerita
sederhana ini sangat aplikatif. Saya sadar saya telah terjebak dengan cara
membawakan disaat saya semestinya belajar memahami apa yang mau saya bawakan. Saya
terjebak dengan ‘kulit luar’ cerita, disaat saya seharusnya menemukan inti
cerita untuk disampaikan. Bukan berarti alat peraga tidak penting, itu baik
untuk membantu, tapi itu bukan hal yang utama. Di pengalaman pertama persiapan
mengajar, saya sudah diajari untuk tidak melupakan yang terutama. Menceritakan Firman
Tuhan. Memperkenalkan Tuhan.
Setelah memahami apa yang akan
saya bawakan, lebih mudah bagi saya untuk menentukan alat peraga yang akan saya
gunakan. Alih-alih menggambar dan menggunting, saya memilih untuk mempersiapkan
barang asli yang ada di dalam cerita dan akan menggunakan diri saya menjadi
alat peraga. Saya belum tahu bagaimana pastinya nanti akan menggunakan alat
tersebut, namun saya tetap mengumpulkan barang yang saya butuhkan satu per
satu. Persiapan selesai. Jasmani maupun rohani.
Hari H. Hari ini. Ibadah sekolah
minggu berjalan dengan baik, waktunya bagi kelas, yang artinya waktunya saya
bercerita. Ketika membuka kelas dengan doa, saya masih dengan rencana awal
menggunakan diri saya sebagai alat peraga, saya akan berperan sebagai Paulus.
Namun selesai berdoa, saya menemukan ide yang saya anggap agak beresiko. Bukannya
langsung bercerita mengenai Paulus, saya malah menanyakan ke batita tersebut
seperti ini: Laoshi mau bikin mini drama, disini ada yang mau bantu laoshi buat
ikut drama ga ya?” di luar dugaan, banyak jari-jari kecil yang terangkat dengan
semangat. Mereka ternyata punya mental jadi artis saudara- saudara x))). Saya
akhirnya membagikan satu persatu barang yang saya bawa ke mereka. Ada yang
bertugas memegang tas, ada yang bertugas memegang makanan, minuman, dan yang
lain memegang selimut. Anak terakhir bertugas menjadi Paulus. Disini drama, eh,
cerita dimulai. Saya bercerita sambil menuntun anak-anak memerankan peran
mereka. Saya mengajak ‘Paulus’ berkeliling ke teman-temannya untuk menceritakan
bahwa Tuhan itu baik. Ketika Paulus ditangkap dan tidak memiliki apa-apa,
disitulah tugas anak-anak lain memberikan apa yang mereka pegang ke Paulus. Mereka
melakukannya dengan sukacita, bahkan ada dialog improvisasi singkat yang
diutarakan teman Paulus ke Paulus dan respon Paulus setelah diberi bekal (mulai
saat ini, Winona dan Nathan akan saya didik secara khusus di MBF Talent
Management :p). Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, cerita ini sangat
aplikatif, mereka bisa langsung melakukannya seperti tujuan pembelajaran. Tuhan
mengajarkan mereka untuk memperhatikan dan mengasihi sesama. Hingga akhir
cerita, kesimpulan yang ditanyakan dijawab dengan baik oleh anak-anak ini
(semoga diingat juga di rumah, ya, nak :,) ). Kelegaan luar biasa mengaliri
hati saya. Cerita tersampaikan dengan baik.
Selesai cerita mereka melakukan
aktivitas mewarnai. Menurut saya, saat mengerjakan aktivitas adalah saat-saat
emas bagi saya untuk mengenal mereka lebih lagi. Bercerita mengenai banyak hal,
mendengarkan celotehan mereka. Membangun emotional
bounding dengan anak-anak. Pada saat aktivitas, saya fokus dengan dua anak,
abang Aaron dan Nino (anak-anak lain tetap datang dan memperlihatkan hasil
karya mereka). Anak ini saya dekati karena sebelum-sebelumnya mereka selalu
ditemani sang mama. Kali ini mamanya ikut ibadah, waktunya mengambil hati
>;). Kami mewarnai, bekerja sama memilih warna yang akan dipakai, dan
bercanda ala anak 3 tahunan. Seru sekali melihat mereka berbagi lembar kertas
dan tidak bertengkar saat akan mewarnai.
Hingga akhirnya waktu ibadah selesai, kami berkeliling dan berdoa untuk
menutup kegiatan hari itu.
Saat saya membereskan alat
aktivitas, saya tidak sadar ternyata Nino telah berdiri lama di belakang saya. Dia
diam dengan muka tertekuk seperti mau menangis. Saya menyejajarkan diri dan
bertanya: “Nino kenapa?” Nino tidak menjawab dan makin tertunduk. Saya
membiarkan dia menyender di bahu dan bertanya lagi: “ada yang nakal?” Tidak ada
jawaban. Saat itu mama Nino menuju ke arah kami. “mama Nino jemput tuh, kenapa
sedih? Ga mau selesai ya?” Nino pun mengangguk dan mulai menangis” Saya terharu
sekali dan memeluk Nino. “Laoshi kasih cokelat ya, jangan nangis, kan minggu
depan datang lagi”. Nino mengangguk setuju dan tidak menekuk muka lagi. Mamanya
bertanya ada apa dengan Nino, ketika saya menceritakan kejadiannya, mamanya
tersenyum lebar sambil mengusap kepala Nino “lucu banget sih Nino”. Mama Nino
juga berbicara, Laoshi, senang sekali tadi melihat mereka berdoa. Selama ada
saya yang nungguin mereka ga pernah mau berdoa. Tadi saya lihat mereka berdoa.
Ls. Desy mengiyakan dan berkata “anak-anak kalau ditinggal memang jadi lebih
mandiri bu, besok ditinggal saja”.
Saya tidak mengikuti pembicaraan
mereka lagi setelah itu. Saya masih haru biru dengan apa yang saya alami
sepanjang sekolah minggu. Perasaan yang benar-benar luar biasa. Saya bingung
bagaimana harus mengungkapkannya. Saya terpesona melihat bagaimana Tuhan
menuntun saya membawakan cerita pertama saya. Saya terharu melihat tingkah Nino
yang tidak mau berpisah. Saya ikut senang melihat pancaran bahagia dari mata
sang mama yang melihat anaknya berdoa untuk kali pertama. Kejadian hari ini
menambah kuat ikatan saya dengan sekolah minggu. Kerinduan untuk terlibat penuh
semakin besar. Rindu sekali rasanya semakin banyak anak seperti Nino yang suka
datang ke rumah Tuhan. Rindu sekali mendengar kembali ungkapan suka cita dari
orang tua yang melihat perubahan baik dalam diri anak mereka. Rindu sekali
dapat ikut teribat dalam pembentukan masterpiecenya Tuhan. Hal inilah yang
membuat saya enggan meninggalkan kota ini meskipun hanya 1 hari minggu.
Seandainya teman-teman memiliki
kerinduan yang sama dalam melayani, jangan ragu sedikitpun. Pelayanan adalah
anugerah, dimanapun itu. Baik pelayanan besar maupun kecil. Kerjakan dengan
sungguh dan sepenuh hati. Kita sebenarnya tidak layak, namun Tuhan yang
melayakkan kita, bukankah itu adalah anugerah yang indah? Tidak semua orang
memiliki kesempatan untuk melayani. Jika
kita terpilih, lakukanlah dengan hati yang bersyukur. Kita telah diberikan
banyak talenta, tidak maukah kita mempersembahkan kemampuan itu untuk melayani
Tuhan yang telah menyelamatkan kita?
Mari renungkan bersama :)