Hujan baru dirindukan saat
kemarau panjang.
Udara segar baru disyukuri setelah
terkena bencana asap.
Hangatnya mentari baru dicari
ketika mengalami musim dingin berkepanjangan.
Keluarga baru dibutuhkan saat
mulai terpisah.
Perhatian baru disesali saat ia tak
lagi ada.
Saya dulu termasuk orang yang
suka mengeluh, rasanya sepanjang hari ada saja yang salah. Sampai salah seorang
teman saya berkata: “aduh, Li, bisa ga sih kamu sehari aja ga ngeluh? Capek tau
dengernya”. Saya terdiam. Ya, keluhan yang saya lontarkan menyebarkan emosi
negatif ke sekitar. Tidak hanya diri sendiri yang akhirnya merasa lelah, tapi
orang-orang yang ikut mendengar pun akhirnya terpengaruh. Keluhan itu ibarat
dementor. Menyerap kebahagiaan. Jangan salahkan teman-teman jika akhirnya kita
dijauhi. Mereka berhak menikmati kebahagiaannya tanpa diganggu keluhan kita. Keluhan
dan ketidakpuasan kita hanya membuat kita lupa akan hal-hal indah yang
sebenarnya terjadi di hari yang sama. Keluhan membuat kita fokus ke hal negatif
dan melemahkan kepekaan kita terhadap hal manis yang mungkin terjadi. Membuat kita
menjadi sulit bersyukur.
Bersyukur. Satu kata yang sangat
sulit dilakukan. Kita, saya, cenderung mengeluhkan keadaan yang tidak sesuai
dengan kehendak kita daripada mensyukuri apa yang telah kita terima tanpa
bersusah payah. “ya Tuhan, panas banget hari ini…”, “aduh, hujan kok pagi-pagi
sih? bikin telat ngantor deh…”, “kok kamu hidupnya enak banget? Ga kayak aku…”
merasa familiar dengan celotehan itu? Disadari atau tidak, kalimat serupa yang
sering keluar dari mulut kita. Kita terfokus untuk melihat apa yang tidak bisa
kita miliki dan akhirnya mengeluh. Padahal di luar sana, banyak orang yang
bermimpi siang malam untuk mendapatkan kehidupan yang sedang kita jalani. Ironis,
ya?
Beberapa waktu yang lalu daerah
saya terkena bencana asap. Hampir 3 bulan kami tidak merasakan terik matahari. Dalam
jangka waktu yang sama pula kami tidak menghirup udara yang sehat. Tidak ada
langit biru, hanya ‘senja’ berkepanjangan. Tidak ada cahaya bulan, hanya malam
berkabut beraroma abu pembakaran. Masa-masa itu membuat saya merasa sulit
sekali bernapas. Masker menjadi kebutuhan primer setiap harinya. Saya mulai
merindukan udara pagi yang segar, yang selama ini saya acuhkan. Saya menyadari,
udara segar ternyata sangat berharga.
Saya sudah mendengar banyak
cerita mengenai orang-orang yang baru merasa miliknya berharga setelah ia
kehilangan hal tersebut. Tidak dipungkiri terkadang kita termasuk salah satu
orang di atas. Hal-hal yang sudah selalu kita dapatkan, sering kita terima tanpa
usaha lebih membuat ‘harga’nya terkesan menurun. Tidak spesial lagi. Sehingga tidak
ada penghargaan lagi atasnya. Memang sudah sewajarnya, pikir kita. Pemikiran inilah
yang membuat kita tidak mengapresiasi apa yang selalu kita terima. Sampai kita
sadar itu penting ketika kita tidak menerimanya lagi. Seperti cerita tentang
asap di atas, berapa banyak dari kita yang mensyukuri oksigen yang kita hirup
sebelum kabut asap melanda? Sebagian besar pasti merasa sudah sewajarnya untuk
menghirup udara segar sehingga rasanya berlebihan untuk berterima kasih pada
pencipta udara. Hingga akhirnya kita harus ‘diajari’ untuk menghargai apa yang
dimiliki dengan’dipisahkan’ dari kenyamanan yang ada.
Saya sudah pernah ‘diajari’
dengan cara ‘dipisahkan’. Menjadi perantau membuat saya terpisah berpuluh kilo
meter dari tempat paling nyaman bernama keluarga. Tempat yang dulu kurang saya
hargai. Dulu saya menganggap sudah sewajarnya setiap lapar ada makanan tersedia
di atas meja. Sudah sewajarnya ketika mau pergi tinggal minta antar papa mama. Sudah
sewajarnya bisa mendekap orang tua ketika gelap karena lampu padam. Saya tidak
pernah berterima kasih pada mereka. Saya anggap sudah sewajarnya. Hingga ketika
saya di kota asing, semua tidak bisa saya dapatkan semudah dulu. Rasanya sangat
tidak enak. Sejak itu saya belajar untuk memperhatikan hal-hal kecil yang bisa
saya syukuri. Sampai saat ini saya masih belajar. Masih gagal di banyak bagian.
Namun, mulai bisa mengurangi keluhan yang tidak membangun sedikit demi sedikit.
Mulai merasa bahwa bahagia itu sederhana. Bukan hal rumit yang butuh rumus maha
hebat untuk bisa merasakannya. Bersyukur merupakan awal bahagia. Bersyukur membuat
kita lebih optimis menghadapi apa yang terasa sulit. Bersyukur membangkitkan
emosi positif dalam diri. Bersyukur juga bisa membuat kita lebih ikhlas saat
apa yang kita miliki diambil. Kenapa? Karena kita sudah menyadari apa yang kita
miliki, memanfaatkannya dengan baik, dan hidup di dalamnya dengan totalitas
penuh. Ketika apapun itu diambil, tidak akan ada rasa sesal karena pernah
menyia-nyiakannya.
Mari kita coba sama-sama menilik
diri, apakah ada hal indah yang belum disyukuri? Apakah ada perbuatan manis
yang belum mendapatkan ucapan terima kasih? Apakah ada orang tertentu yang
kehadirannya yang berharga kita acuhkan? Jika masih ada, mulailah bersyukur,
mulailah berterima kasih, mulailah menghargai, sebelum menyesal karena tidak
melakukannya. Mulailah berbahagia, karena bahagia itu sederhana.
Tolong ingatkan saya juga ya,
takut khilaf x)
*tulisan ini terinspirasi oleh hujan yang akhirnya membasahi bumi Jambi :)