Rabu, 11 November 2015

Sudah Sewajarnya, Katanya



Hujan baru dirindukan saat kemarau panjang.
Udara segar baru disyukuri setelah terkena bencana asap.
Hangatnya mentari baru dicari ketika mengalami musim dingin berkepanjangan.
Keluarga baru dibutuhkan saat mulai terpisah.
Perhatian baru disesali saat ia tak lagi ada.


Saya dulu termasuk orang yang suka mengeluh, rasanya sepanjang hari ada saja yang salah. Sampai salah seorang teman saya berkata: “aduh, Li, bisa ga sih kamu sehari aja ga ngeluh? Capek tau dengernya”. Saya terdiam. Ya, keluhan yang saya lontarkan menyebarkan emosi negatif ke sekitar. Tidak hanya diri sendiri yang akhirnya merasa lelah, tapi orang-orang yang ikut mendengar pun akhirnya terpengaruh. Keluhan itu ibarat dementor. Menyerap kebahagiaan. Jangan salahkan teman-teman jika akhirnya kita dijauhi. Mereka berhak menikmati kebahagiaannya tanpa diganggu keluhan kita. Keluhan dan ketidakpuasan kita hanya membuat kita lupa akan hal-hal indah yang sebenarnya terjadi di hari yang sama. Keluhan membuat kita fokus ke hal negatif dan melemahkan kepekaan kita terhadap hal manis yang mungkin terjadi. Membuat kita menjadi sulit bersyukur.

Bersyukur. Satu kata yang sangat sulit dilakukan. Kita, saya, cenderung mengeluhkan keadaan yang tidak sesuai dengan kehendak kita daripada mensyukuri apa yang telah kita terima tanpa bersusah payah. “ya Tuhan, panas banget hari ini…”, “aduh, hujan kok pagi-pagi sih? bikin telat ngantor deh…”, “kok kamu hidupnya enak banget? Ga kayak aku…” merasa familiar dengan celotehan itu? Disadari atau tidak, kalimat serupa yang sering keluar dari mulut kita. Kita terfokus untuk melihat apa yang tidak bisa kita miliki dan akhirnya mengeluh. Padahal di luar sana, banyak orang yang bermimpi siang malam untuk mendapatkan kehidupan yang sedang kita jalani. Ironis, ya?

Beberapa waktu yang lalu daerah saya terkena bencana asap. Hampir 3 bulan kami tidak merasakan terik matahari. Dalam jangka waktu yang sama pula kami tidak menghirup udara yang sehat. Tidak ada langit biru, hanya ‘senja’ berkepanjangan. Tidak ada cahaya bulan, hanya malam berkabut beraroma abu pembakaran. Masa-masa itu membuat saya merasa sulit sekali bernapas. Masker menjadi kebutuhan primer setiap harinya. Saya mulai merindukan udara pagi yang segar, yang selama ini saya acuhkan. Saya menyadari, udara segar ternyata sangat berharga.

Saya sudah mendengar banyak cerita mengenai orang-orang yang baru merasa miliknya berharga setelah ia kehilangan hal tersebut. Tidak dipungkiri terkadang kita termasuk salah satu orang di atas. Hal-hal yang sudah selalu kita dapatkan, sering kita terima tanpa usaha lebih membuat ‘harga’nya terkesan menurun. Tidak spesial lagi. Sehingga tidak ada penghargaan lagi atasnya. Memang sudah sewajarnya, pikir kita. Pemikiran inilah yang membuat kita tidak mengapresiasi apa yang selalu kita terima. Sampai kita sadar itu penting ketika kita tidak menerimanya lagi. Seperti cerita tentang asap di atas, berapa banyak dari kita yang mensyukuri oksigen yang kita hirup sebelum kabut asap melanda? Sebagian besar pasti merasa sudah sewajarnya untuk menghirup udara segar sehingga rasanya berlebihan untuk berterima kasih pada pencipta udara. Hingga akhirnya kita harus ‘diajari’ untuk menghargai apa yang dimiliki dengan’dipisahkan’ dari kenyamanan yang ada.

Saya sudah pernah ‘diajari’ dengan cara ‘dipisahkan’. Menjadi perantau membuat saya terpisah berpuluh kilo meter dari tempat paling nyaman bernama keluarga. Tempat yang dulu kurang saya hargai. Dulu saya menganggap sudah sewajarnya setiap lapar ada makanan tersedia di atas meja. Sudah sewajarnya ketika mau pergi tinggal minta antar papa mama. Sudah sewajarnya bisa mendekap orang tua ketika gelap karena lampu padam. Saya tidak pernah berterima kasih pada mereka. Saya anggap sudah sewajarnya. Hingga ketika saya di kota asing, semua tidak bisa saya dapatkan semudah dulu. Rasanya sangat tidak enak. Sejak itu saya belajar untuk memperhatikan hal-hal kecil yang bisa saya syukuri. Sampai saat ini saya masih belajar. Masih gagal di banyak bagian. Namun, mulai bisa mengurangi keluhan yang tidak membangun sedikit demi sedikit. Mulai merasa bahwa bahagia itu sederhana. Bukan hal rumit yang butuh rumus maha hebat untuk bisa merasakannya. Bersyukur merupakan awal bahagia. Bersyukur membuat kita lebih optimis menghadapi apa yang terasa sulit. Bersyukur membangkitkan emosi positif dalam diri. Bersyukur juga bisa membuat kita lebih ikhlas saat apa yang kita miliki diambil. Kenapa? Karena kita sudah menyadari apa yang kita miliki, memanfaatkannya dengan baik, dan hidup di dalamnya dengan totalitas penuh. Ketika apapun itu diambil, tidak akan ada rasa sesal karena pernah menyia-nyiakannya.

Mari kita coba sama-sama menilik diri, apakah ada hal indah yang belum disyukuri? Apakah ada perbuatan manis yang belum mendapatkan ucapan terima kasih? Apakah ada orang tertentu yang kehadirannya yang berharga kita acuhkan? Jika masih ada, mulailah bersyukur, mulailah berterima kasih, mulailah menghargai, sebelum menyesal karena tidak melakukannya. Mulailah berbahagia, karena bahagia itu sederhana.

Tolong ingatkan saya juga ya, takut khilaf x)

*tulisan ini terinspirasi oleh hujan yang akhirnya membasahi bumi Jambi :)
 

Tempat Mengungkap yang Tak Terucap Template by Ipietoon Cute Blog Design