Kamis, 17 Maret 2016

HIDUPKU DI TANGAN SIAPA?



Ini aku,
Manusia yang silau dengan hingar-bingar masa pencarian jati diri
Aku takut tersesat, aku penuh bimbang
Benakku menyimpan banyak tanya
Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku melangkah? Siapa yang aku ikuti?
Siapa yang menjamin bahagiaku?

Lalu aku disapa oleh cinta, cinta yang katanya membawa bahagia
Cinta yang membuat hidupku penuh warna ceria
Begitu indah sehingga tak kusadari aku memberikan diriku pada cinta yang salah
Cintaku berakhir dengan duka
Hatiku penuh luka.

Kembali aku bertanya, apa yang harus aku lakukan? Siapa yang harus aku ikuti?
“kemarilah!” ujar dunia maya, “ayo bergegas!” teriak kesenangan dunia.  “Kau bebas melakukan apapun disini”.  “kami punya banyak hal yang membuatmu lupa akan duka”
Aku mengikuti mereka, terlarut dalam imajinasi yang seakan nyata
Aku lupa akan duka, namun tak kusangka, dunia itu membuatku lupa akan realita.
Aku terhempas arus tanpa logika.
Bahagiaku semu. Hidupku kosong. Diriku malu.

Ini aku,
Menyesali masa laluku, menyerah akan hidupku, membiarkan gelap menyelimutiku.
Aku hilang.
Dalam sepiku aku kembali bertanya, apa yang harus aku lakukan? Siapa yang harus aku ikuti? Hidupku di tangan siapa?

Terdiam dalam sunyiku, membisu atas kesalahanku.
Hingga Dia menyentuhku.
Dia yang seharusnya aku sapa dalam setiap doaku
Dia yang aku sebut Tuhanku.
Dia memelukku, menyentuh relung hatiku
Dia yang berkata “ kembalilah anakKu, aku mengasihimu, dan tetap akan mengasihimu. Hidupmu di tanganKu, rancanganKu sungguh indah bagimu”

Ah, Tuhan, betapa besar kasihMu padaku yang rapuh ini.
Betapa setia Engkau padaku yang tegar tengkuk ini.
Ampuni aku Tuhan, ampuni salahku
Ini hidupku, kuserahkan padaMu
Biarlah aku tetap tinggal diam di dalamMu
Menikmati indah rencanaMu.
Mengikuti setiap bimbinganMu
Karena hidupku, ada di tanganMu.

Ini aku,
Manusia yang telah menjadi baru.
Bagaimana denganmu?

Fr-24012016

Save the date, come and join us!

Rabu, 16 Maret 2016

Revolusi Mental yang Mental

Peristiwa 1:
Sepasang ABG mengendarai motor tanpa mengenakan helm. Saat di persimpangan jalan, mereka tidak sabar menunggu perubahan lampu lalu lintas menjadi hijau, akhirnya mereka melanggar lampu merah sehingga menyebabkan kemacetan.

Peristiwa 2:
Sekelompok pemudi berseragam sedang makan di sebuah warung soto. Terdengar percakapan seperti ini:
A             : Eh, abis istirahat balik kantor ya? Absenin aku ya, lagi malas ngantor, ga jelas.
B             : Aku ga balik kantor, mau jahit kebaya,  si X yang mungkin balik kantor, minta absenin dia aja.

Peristiwa 3:
Bapak-bapak menyerobot antrian ATM, ketika diingatkan dengan sopan malah marah-marah dan bawa-bawa nasihat kalau orang tua yang harus dihormati.

Peristiwa 4:
Ibu-ibu bawa motor matic nyalip lewat kiri kemudian belok ke kanan dengan menyalakan lampu sein yang kiri.

Dulu ketika maraknya kampanye pemilihan presiden saya sangat menyukai gagasan yang dibawa oleh salah satu capres yang sekarang sudah jadi presiden. Revolusi mental namanya. Di benak saya sudah terbayang betapa indahnya jika pemerintahan dipenuhi manusia bijak penuh hikmat berhati malaikat. Saya mendukung penuh gerakan ini. Seiring berjalannya waktu, saya semakin menyadari, bahwa tidak hanya pejabat pemegang kekuasaan tinggi yang butuh direvolusi mentalnya, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat dari berbagai komponen.

Peristiwa-peristiwa yang membuka tulisan ini adalah segelintir contoh nyata bahwa masih sangat banyak orang yang mentalnya perlu direvolusi. Ketidaktaatan pada peraturan yang sederhana merupakan bentuk dari mental yang’sakit’. Banyak dari kita (mungkin termasuk saya) yang suka melanggar aturan yang berakibat merugikan orang lain. “Ah, sepele, kok, kan yang penting ga korupsi”  atau “ jarang-jarang kok buang sampah sembarangan, cuma bungkus permen ini” adalah contoh tipe kalimat yang secara tidak sadar sering kita jadikan pembenaran saat kita melenceng dari aturan yang ada. Seolah kesalahan orang lain yang lebih besar bisa membuat kita menjadi ‘tidak bersalah’. Padahal, salah tetap salah, meskipun orang lain kesalahannya lebih banyak, tidak akan membuat pelanggaran yang kita lakukan bisa dibenarkan.

Mengamati kondisi ini, saya jadi berpikir kembali, sudah sejauh mana progres revolusi mental ini terjadi? Apakah hanya pejabat dan presiden yang wajib direvolusi mentalnya? Sudah berapa banyak yang sadar bahwa perilaku kita juga harus diperbaiki? Saya jadi ragu, jangan-jangan orang-orang yang berteriak meminta pemerintahan bersih ternyata dalam kesehariannya juga sering buang sampah atau puntung rokok sembarangan. Jangan-jangan yang  sering mengkritik moral para pejabat adalah salah seorang yang suka melanggar lampu lalu lintas. Jangan-jangan kita hanya menganggap yang wajib memiliki mental ‘sehat’ itu hanya orang-orang tertentu atau wakil rakyat saja? Jika itu yang kita pikirkan, maka wajar saja gerakan revolusi mental ini menjadi mental.

Coba kita telaah kembali, berapa banyak dari kita yang masih suka berpikir “ah, entar ajalah dateng kesana, telat 5 menit gapapalah, paling acaranya molor setengah jam”, atau seberapa sering kita seperti pasangan ABG di atas, menerobos lampu merah karena merasa 1 menit kita sangat berharga? Berapa kali kita membatalkan janji tanpa konfirmasi karena merasa sudah akrab? Seberapa sering kita meminta maaf ketika melakukan kesalahan yang menurut kita ‘sepele’? disadari atau tidak, mental yang tertanam di budaya saat ini masih membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar. Karena banyak yang terlambat kalau mau mulai acara, dibuat spare waktu setengah jam antara jadwal tertulis dan jadwal ‘real’. Membenarkan yang biasa. Seharusnya yang dilakukan adalah sebaliknya. Membiasakan yang benar. Jika hal-hal yang kecil dan sederhana saja tidak bisa kita lakukan dengan setia, bagaimana kita bisa dipercayakan hal yang lebih besar? Semua dimulai dari membiasakan hal benar meski terkesan kecil. Membiasakan tepat waktu. Membiasakan tepat janji. Membiasakan tepat aturan. Tidak korupsi uang, tidak korupsi waktu, tidak korupsi kepercayaan. Mudah? Sama sekali tidak. Namun bukan berarti tidak mungkin. Pilihan ada di tangan kita, mau ikut dalam kaum yang bergerak merevolusi mental, atau mau termasuk dalam golongan yang revolusi mentalnya mental. Silahkan dipilih, silakan dimulai dari diri sendiri. Mulai dari hal kecil. Mulai dari sekarang.


Mari berkontemplasi.

Selasa, 01 Maret 2016

Indah pada waktuNya




... Semua akan menjadi indah pada waktunya,,,

Berapa banyak dari kita yang membayangkan sebuah ending yang bahagia saat mengatakan segala sesuatu akan jadi indah pada waktunya? Seolah indah hanya berada di bagian akhir dari sebuah kisah. Saya dulu juga begitu, ungkapan indah pada waktunya selalu saya gumamkan saat saya sedang mengalami persoalan berat atau sedang dirundung kesedihan. Sebuah kalimat yang sangat ampuh menghibur diri bahwa kesedihan ini akan berakhir, beban ini akan mampu dilewati, dan sebagainya. Saya mengharapkan akhir yang indah. Tidak ada yang salah akan hal ini. Hingga sebuah sharing dari seorang teman baik yang baru mengikuti sebuah seminar menyadarkan saya. Indah pada waktuNya memiliki makna yang jauh lebih dalam dari pada sebuah akhir yang indah. Indah pada waktunya tidak sekadar membahas hasil akhir. Indah pada waktunya tidak sekadar berkutat pada selesainya sebuah momen. Indah pada waktunya lebih indah dari itu. Indah pada waktuNya memiliki makna semuanya tepat pada waktunya, bukan cuma akhir yang bahagia tetapi juga proses yang kita lalui dengan tepat.  Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari.

Teman saya bercerita bahwa hidup kita dibentuk oleh Tuhan secara keseluruhan. Tidak selalu datar, namun pasti setiap bagian ditentukan dengan tepat. Ibarat sebuah lagu yang indah, tidak semuanya bernada sama, ada not yang bermacam-macam dipadupadankan. Di dalam sebuah lagu ada banyak bar. Seperti hidup kita, ada tiap babak yang up and down. Namun akhir dari bar tersebut belum tentu merupakan akhir dari lagu. Akhir dari babak yang penuh kesedihan bukan berarti merupakan akhir dari kehidupan, ketika mengalami suka cita melimpah juga bukan berarti itu akhir kisah kita. Ada visi yang jauh lebih besar bagi kita untuk melanjutkan melodi hingga selesai. Saya ambil contoh lagu indah yang baru dipelajari di koor gereja yang berjudul “siapa menyalibkanNya -Who Crucified My Lord by Ralph R. Belcher” Lagu ini diawali dengan lembut dan sangat pelan di nada-nada rendah, kemudian di tengah lagu tiba-tiba semua nada berubah menjadi tinggi dan harus dinyanyikan dengan forte, keras, tegas dan lantang, di bagian akhir kembali dinyanyikan dengan sangat lembut dengan nada rendah. Secara keseluruhan lagu ini sangat indah. Namun apa yang terjadi jika yang dinyanyikan hanya sepotong di bagian forte atau piano saja? Lagu ini hanya akan menjadi untaian baris yang aneh dan tanggung. Up and down nada justru menjadikan lagu ini indah secara menyeluruh hingga not terakhir. Begitu juga dengan hidup kita, Tuhan yang jadi dwelling place kita. Tiap nada dalam kehidupan kita dibunyikannya dengan tepat pada waktuNya.

Sedih, senang, tawa, duka, susah, berjuang, lancar, dll tepat pada waktunya. Itu yang namanya bahagia. Seperti yang diungkapkan di atas, indah pada waktunya artinya semua tepat pada waktunya. Bukan cuma akhir bahagia saja, tetapi ketika kita sedih dan itu tepat pada waktunya, itu indah. Ketika kita bahagia di saat yang tepat, itu indah. Nada yang tinggi tidak akan indah jika tidak dibunyikan tepat pada waktunya, nada yang rendah tidak akan indah jika dibunyikan pada saat yang salah. Sukacita kita tidak menjadi hal yang indah jika hal yang menggembirakan datang disaat yang tidak tepat, bahagia kita tidak akan dikenang jika momen indah muncul di waktu yang salah. Hal inilah yang membuat kita menghargai proses kehidupan. Memaknai setiap apa yang terjadi sebagai kehendak Tuhan yang ingin menjadikan kita indah. Menghargai saat-saat duka, menikmati saat-saat suka. Menjalani segala sesuatu dengan tepat seturut kehendakNya, indah pada waktuNya.

Untuk segala sesuatu ada waktunya (Pkh 3: 1-11)
Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, 
ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; 
ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;
ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; 
ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;
ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; 
ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; 
ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; 
ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; 
ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

A Time for Everything (Ecclesiastes 3:1-11, NIV)

There is a time for everything, and a season for every activity under the heavens:
    a time to be born and a time to die,
    a time to plant and a time to uproot,
    a time to kill and a time to heal,
    a time to tear down and a time to build,
    a time to weep and a time to laugh,
    a time to mourn and a time to dance,
    a time to scatter stones and a time to gather them,
    a time to embrace and a time to refrain from embracing,
    a time to search and a time to give up,
    a time to keep and a time to throw away,
    a time to tear and a time to mend,
    a time to be silent and a time to speak,
    a time to love and a time to hate,
    a time for war and a time for peace.
What do workers gain from their toil? 10 I have seen the burden God has laid on the human race. 11 He has made everything beautiful in its time. He has also set eternity in the human heart; yet[a] no one can fathom what God has done from beginning to end.

 

Tempat Mengungkap yang Tak Terucap Template by Ipietoon Cute Blog Design