Hampir
setahun ini saya menjadi asisten laoshi di SM GKPJ Pos PI Mayang. Tidak pernah
saya membayangkan akan bertahan selama ini, karena dari dulu saya tidak (atau
mungkin belum) tergerak melayani di bidang anak-anak. Menurut saya jadi guru SM
itu merepotkan, bukan karena
anak-anaknya, saya sangat suka anak-anak. Namun membayangkan harus bangun lebih
pagi di hari yang berwarna merah saja sudah sangat berat bagi wanita pekerja
yang senin hingga sabtu harus membanting tulang (literally, saking kurusnya), dilengkapi dengan tanggung jawab tambahan
membuat aktivitas yang baik untuk anak setiap minggunya. Saya yang tangannya
sangat tidak kreatif langsung memasang dinding tinggi dalam diri untuk mampu
menolak segala tawaran melayani di sekolah minggu. Dinding itu sudah ada sejak
masa kuliah sebenarnya, berulang kali saya mendapat tawaran di gereja yang lama
untuk masuk ke dunia sekolah minggu, namun saya selalu menolak, dengan berbagai
alasan yang masuk akal (the perks of
being good negosiator :p).
Entah
kenapa dinding transparan itu benar-benar hilang saat saya diajak ngobrol
dengan Ls. Yeni dan Ls. Ike. Bukan obrolan berat, hanya menceritakan kondisi
sekolah minggu, yang diakhiri dengan penawaran pelayanan sebagai asisten
Laoshi. Saya lupa kejadian persisnya, tapi sepertinya saat itu saya tidak
memberikan jawaban apapun. Saya ditawari untuk observasi dulu 1 atau 2 minggu
untuk kemudian mengambil keputusan. Saya menyetujui observasi itu. “Toh, kalau
tidak tertarik ya tinggal bilang” pikir saya. Saat itu saya observasi di kelas
kecil (karena rencananya memang jika saya setuju saya akan jadi asisten disana)
saya merasakan betapa riwehnya suasana di kelas. Observasi di dua minggu
tersebut termasuk gagal menurut saya. Saya tidak banyak membantu karena belum tau
apa yang harus saya lakukan. Selain itu anak-anak masih asing dengan kehadiran
wanita baru berambut panjang ini, mereka masih memanggil laoshi yang mereka
kenal jika butuh bantuan (mungkin waktu itu saya dikira kuntilanak yang baru
tobat, hiks). Tapi meski begitu, tetap saja saya datang tiap minggu pagi untuk
bertemu mereka. "Gapapalah, cuma
bantu-bantu ini, ga jadi guru SM kok" pikir saya lagi. Saya tidak tahu
pelet apa yang saya terima sehingga saya tidak merasa terbeban untuk bangun
lebih pagi di hari libur yang langka tersebut (lirik tajam ke Ls. Ike,
hahahaha).
Minggu
berganti, meski masih banyak absennya, saya mulai mengenal batita-batita
tersebut lengkap dengan perangai mereka. Ada yang cengeng, ada yang jahil, ada
yang centil, ada yang aktif, dan lain-lain. Ternyata menyenangkan juga bisa
bermain bersama mereka, mendengarkan curhatan mereka walau dengan kosa kata
seadanya, melerai yang berkelahi, membantu menyusun rumah-rumahan, saya berasa
semakin awet muda (eh, memang masih muda, ding). Waktu itu ada satu anak yang
membuat saya merasa tertantang. Anak ini sepertinya anti sekali dengan saya,
jarak satu meter mau mendekat saja sudah diteriaki. Pedih hati qaqa, deq,
pedih... Saat itu saya bertekad, someday
you’ll run very fast come to me and hug me. Sejak itu saya jadi makin rajin
mendatangi ruang ibadah yang hingar bingar dengan celotehan anak tiap minggu
pagi.
Saya
mulai mencari banyak cara untuk mendekati anak cool satu itu. Dari seribu cara,
seribu satu yang gagal (yang satunya belum dipake aja udah diteriakin). Namun
saya tidak menyerah, saya berpegang teguh pada pengalaman Alexander Graham Bell
yang gagal berulang kali namun akhirnya mampu menciptakan lampu pijar (dia
penemu telepon, cet***). Tidak hanya saat sekolah minggu, saat rapat atau kegiatan
lain yang ada dianya pun saya tetap melancarkan taktik pendekatan untuk anak
ini, ya, kurang lebih kayak orang PDKT laaah. Harus konsisten dan pantang
menyerah. Hingga suatu waktu dia mulai melembut, tidak lagi berteriak, namun
masih enggan disentuh. Ah, kemajuan! Saya mencoba mengenali kesukaannya,
mencari tahu apa yang biasanya dia minta ke mamanya, dan mencoba memberikannya
sebelum dia minta ke mamanya. I try to
make him know that i want to be friend. So I must get his trust. Awalnya
memang dia hanya memanfaatkan saya, hanya mengambil makanan lalu pergi. Minta
ambilin mainan lalu pergi. But that’s
okay, I have the bigger plan for you, kid. Muahahahahaha (insert devil emoticon here).
Semakin
hari kemajuan makin pesat, dia sudah mau bersalaman, ketika jalan sudah mau
digandeng (duh, dek, kayak pacaran aja). Hingga suatu waktu perubahan besar
terjadi, si anak salah ngenalin mamanya. Waktu lari bukannya lari ke mamanya
tapi malah lari ke saya. Saya kaget. Mamanya kaget. Yang liat pada kaget.
Anaknya juga kaget kayaknya, tapi mungkin anaknya udah kenal gengsi salah orang
jadi dia tetap peluk saya dan baru pergi ke mamanya. Setelah itu kami jadi
makin akrab, setiap ketemu saya selalu duduk dan membentangkan tangan untuk
menerima larinya ke pelukan saya. He hugged
me, then kiss my cheek. In every meet. Manis sekali. Tidak perlu
iming-iming mainan atau makanan lagi.
Sudah seperti tradisi di beberapa bulan terakhir. Saking rutinnya ketika
dia lihat foto saya tetap saja dicium. Mungkin kalau dia sudah bisa bicara dia
akan bilang, Laoshi, hug, Laoshi, kiss...
Seperti yang diajarin oleh laoshinya yang masih belum di jalan yang benar ini
:p. Then i said, I got you, kid! Wohoo!!
Tantangan
saya berakhir. Saya sudah mencapai tujuan awal saya di SM, anak tersebut sudah
berada di genggaman. Tetapi saya bukannya berhenti malah makin aktif di SM.
Sepertinya anak tersebut hanyalah salah satu cara unik yang dipakai Tuhan untuk
membuat saya terbeban di pelayanan ini. Tuhan tahu bahwa saya harus merasa
tertantang dulu untuk mau terlibat dalam suatu hal. Semakin mengenal anak-anak,
semakin saya menyadari betapa pentingnya firman Tuhan untuk ditanamkan ke
mereka sejak dini. Semakin saya mengerti betapa bahayanya jika kita salah
menyampaikan kebenaran Firman Tuhan. Mereka menyerap semua yang mereka lihat,
dengar, dan rasakan. Laoshi adalah salah satu role model mereka. Mungkin ada
yang menganggap salah cerita sedikit tidak apa-apa. Kita lupa bahwa anak-anak
akan mengingat hal tersebut hingga lama. Kadang kita tidak sadar, apa yang kita
lakukan hari ini bisa jadi dicontoh oleh mereka dikemudian hari. Laoshi yang
suka marah akan turut serta dalam menciptakan anak yang suka marah. Laoshi yang
penuh kasih akan memiliki andil dalam menciptakan anak yang mampu mengasihi.
Ngomong-ngomong, ada beberapa hal yang saya pelajari dari pengalaman selama
menjadi asisten Laoshi SM yang masih awam dan selama PDKT ke sang anak:
- When you want to make kids become your friend, you need to catch their attention first then think like them. Caranya bagaimana? Ya bisa bagaimana saja, tergantung karakter anak (sangat tidak membantu). Artinya kita harus mempelajari mereka terlebih dahulu. Tidak semua anak mudah didekati. Namun bukan berarti tidak bisa. Cerita di atas adalah salah satu buktinya. We just need to know them well. Ketika sudah bisa mendekati anak-anak, tahu karakternya, sepertinya akan lebih mudah untuk kita memberitakan Firman Tuhan ke mereka. Mengenal mereka berarti bisa mengetahui batasan kemampuan yang mereka miliki, kita memiiliki frekuensi yang sama dengan anak-anak sehingga apa yang disampaikan dapat tertangkap dengan baik oleh anak.(*masih pakai sepertinya karena saya belum pernah bawain cerita FT ke anak hehehe)
- If you want them to obey you, tell them the reason, with simple words, then appreciate what their doing. Cara ini juga saya coba minggu lalu karena kelas yang harus berdekatan akibat asap pekat di luar. Saya harus menjaga agar kelas kecil tidak berisik sehingga kelas lain tidak mengganggu. Saya menggunakan metode biasa yaitu mengunci mulut dan kunci disimpan. Namun saya menyampaikan pesan jangan berisik dengan menceritakan alasannya dengan bahasa yang sederhana. Tidak saya duga ternyata mereka benar-benar melakukannya. Sangat diam, sampai-sampai ketika ayat hapalan pun mereka berbisik, saya harus mencontohkan membuka kunci terlebih dahulu baru mereka berteriak. Hahahaha. Saya tidak perlu mengulang perintah ataupun mempertinggi intonasi suara hingga melengking. Mereka mengerti. Ketika anak sudah merasa dekat dengan seseorang, mereka akan melakukan hal yang membuat orang tersebut senang. Mereka tidak akan berani mengecewakan. Yang harus kita lakukan adalah memberi tahu dengan jelas apa yang harus dilakukan, dan memujinya jika ia melakukannya. Semakin banyak pujian, semakin semangat mereka melakukannya dengan baik. Kemarahan hanya membuat mereka takut, namun bukan berarti marah tidak diperbolehkan, hanya tetap diberi batasan. Sekali salah perlakuan, akan sulit memperbaiki mindset mereka kembali. Beware.
- Listen to them first, then they’ll listen to you. Seorang anak melakukan sesuatu pasti ada sebabnya, ketika mereka menangis atau bertengkar, ada baiknya jika tidak langsung memarahi mereka. Cari tahu dulu apa yang terjadi, biarkan mereka bercerita. Ketika mereka didengarkan dengan baik, mereka akan merasa kita berada di pihaknya. Setelah itu, kita akan lebih mudah untuk meluruskan masalah, menyatakan apa yang salah dan apa yang harus diperbaiki. Bukan hal mudah, namun bisa dipelajari. Keberadaan kita yang sepenuh hati mendengarkan bisa mereka rasakan. If they know that their words are listened, they will listen. Trust me.
Untuk yang keempat dan
seterusnya mungkin akan saya tambahkan jika saya diberi kesempatan memiliki
pengalaman lain di SM. Berikut kalimat yang akan saya gunakan sebagai penutup
tulisan ini: "Menjadi guru sekolah minggu bukanlah hanya karena kita suka
anak-anak atau karena mengisi waktu luang. Beban guru sekolah minggu jauh lebih
besar dari itu. Guru sekolah minggu menjadi tempat pertama anak, selain dalam keluarga
untuk mengenal Tuhan mereka". Jadi, jangan sia-siakan panggilan berharga
tersebut jika Tuhan memilihmu menjadi bagian di dalamnya. Sesungguhnya, saya
masih menggumulkan hal ini.
Bantu doa ya :D