Saya baru tiba di rumah pukul
21.00 WIB karena sebelumnya visit luar kota. Fisik cukup lelah dan ingin segera
istirahat. Namun mengingat hari ini ada berita cukup heboh mengenai pengeboman
di salah satu daerah di Jakarta dan betapa banyaknya bertebaran pro kontra
mengenai gambar korban dan hastag, saya rasanya tidak tenang sebelum menulis
dan membagikan sedikit mengenai apa yang pernah saya dapat dari seminar SYC
desember lalu.
Salah satu isi materi SYC 2015
yaitu kapita selekta yang terbagi atas dua pilihan. Tema pertama yaitu from
addiction to action dan yang kedua socializing with(out) your social media. Untuk
tema pertama dibatasi sebanyak 150 orang pria dan 150 orang wanita. Tema pertama
sepertinya lebih menarik di kalangan remaja dan teman-teman saya. Ditambah
dengan info adanya kaitan mengenai pembahasan sisi psikologi disana. Berhubung
saya sedang tidak merasa addict terhadap sesuatu dan sudah lumayan kenyang
belajar psikologi saat kuliah, saya cenderung berpikir untuk memberi kesempatan
yang lain untuk mengikuti tema tersebut dan memilih tema kedua. Pemilihan tema
kedua ini awalnya saya kira lebih cocok untuk saya mengingat cukup banyak
social media yang saya ikuti. Mungkin sudah sebaiknya saya bersosialisasi
dengan seimbang baik di dunia maya maupun dunia nyata, jadi dengan mengikuti
kapita selekta di tema ini membuat saya bisa lebih balance dalam bersosialisasi.
Tapi ternyata apa yang saya dapatkan di luar ekspektasi yang saya buat. Saya
mendapat pelajaran yang jauh lebih penting setelah saya mengikuti materi tersebut.
Membuat saya semakin bersemangat untuk menulis. Apa itu?
Pembicaranya adalah pak Wepe, ia awalnya
memaparkan kondisi zaman yang sudah berubah pesat. Ia juga memaparkan
kuantifikasi penggunaan sosial media di dunia dan di Indonesia, sangat banyak
ternyata. Tidak heran jika banyak hal dengan cepat menjadi viral apabila
dishare di sosial media. Pak Wepe juga menjelaskan hal-hal negatif yang sangat
mudah muncul di internet meski hanya
dengan keyword sederhana. Media sosial menjadi tempat yang sangat mengerikan. Banyak
penipuan, kebencian, hoax, pornografi, dan hal negatif lainnya. Ia sempat
berkomunikasi dengan pihak google Indonesia mengenai hal ini, mengapa keyword
sederhana bisa memunculkan hal negatif dengan sangat mudahnya? Jawaban yang
dituturkan oleh pihak google sangat menyentak saat itu. Kalau tidak salah
begini (maaf jika agak berbeda, buku catatan SYC saya hilang, dan saya merasa
sangat sedih karena ini T_T): “Google itu hanya mesin pencari, dan ia buta. Apa
yang diupload kesana itulah yang ia tampilkan. Jika banyak yang mengupload hal
negatif, maka hal negatif yang keluar. Jika banyak yang mengupload hal positif,
hal positif yang keluar”. Apa yang dikatakan orang tersebut benar menurut saya.
Kita tidak bisa menyalahkan sosial media itu sendiri atas keburukan yang
terjadi di sana. Mereka hanya media. Pengguna bebas menggunakannya untuk apa. Kita
bebas menggunakannya untuk apa. Kita bisa mengklik situs resmi untuk mencari
bahan penelitian, dengan jari yang sama, kita bisa membuka situs pornografi
yang diinginkan. Kita bisa menggunakan sosial media untuk menyebar ilmu, dengan
sosial media yang sama kita bisa menyebar kebohongan. Semua terserah kita.
Terkadang kita salah kaprah. Merasa
diam adalah hal terbaik yang kita bisa dalam menghadapi fenomena di sosial
media. Kita lebih suka menjadi “silent reader”, penikmat dan penonton. Hingga tanpa
kita sadari kita membiarkan hal negatif tersebar tanpa perlawanan. Ada quote
yang menurut saya bisa dikaitkan dengan hal ini: ‘terkadang kejahatan menang
karena yang benar hanya diam’. Itu yang sekarang terjadi di era media sosial
ini. Kita cenderung ‘membiarkan’ hal negatif muncul dan tak jarang kita menjadi
salah satu penyulut reaksi massa. Kita mengacuhkan hoax bertebaran, dan
seringkali kita menjadi salah satu penyebar hoax tersebut hanya dengan
pembelaan ‘saya kan cuma ikut share informasi’ tanpa kita cari tahu lebih dulu
apakah yang kita share itu benar atau tidak, berguna atau tidak, memancing
keributan atau tidak, beretika atau tidak. Ya, kemudahan seringkali tidak
diiringi dengan kebijaksanaan. Kemudahan dibarengi dengan tindakan reaktif dan
emosional. Sedih rasanya membayangkan smartphone digunakan oleh pemilik yang
kurang smart menyaring informasi. Ketika ada berita yang menyindir kita, segera
kita share dengan reaktif dan membuat tulisan tandingan yang tak kalah
menyakitkan hati. Ketika ada berita kurang baik atas orang yang tidak kita
suka, segera kita share dengan kalimat ‘bijak’ atau kalimat sindiran pedas. Mungkin
bukan hal yang salah, namun apakah itu berguna? Apakah memberi dampak baik? Silakan
jawab masing-masing.
Hal yang sama terjadi dengan
peristiwa pengeboman di Jakarta hari ini. Dalam waktu singkat hastag
#PrayforJakarta menyebar luas baik di twitter, facebook, instagram, hingga
path. Bukan itu masalah utama, masalahnya adalah hastag tersebut tidak sedikit
diiringi dengan video lokasi yang masih ada potongan tubuh, foto-foto korban,
bahkan hoax yang tidak layak disebar. Apa yang terjadi? Rasa (terkesan) kemanusiaan
dan nasionalis yang tiba-tiba sangat tinggi membuat kita, sebagian orang,
menshare hal tersebut, baik dengan komen positif maupun negatif. Baik ‘dukungan’
doa maupun kritik. Sadarkah kita kalau kita sedang melakukan hal yang keliru? Bukan
hastag yang salah sepenuhnya, namun tidak pada tempatnya. Alih-alih mendoakan,
kita malah menyebar kesuraman. Alih-alih menyebar informasi, kita malah menjadi
pendusta dengan menyebarkan kabar bohong. Sempatkah kita berpikir apa dampak
dari yang kita tulis atau sebar sebelum kita melakukannya? Saya disini tidak
sedang melarang siapapun untuk menyebar apapun, namun saya berharap kita lebih
bijaksana dalam menggunakan sosial media. Apakah teman-teman tahu? Kita sedang
berperang. Berperang melawan kenegatifan itu sendiri, berperang dengan yang
mendalangi semua hal negatif ini *you know who*. Peperangan itu tidak akan kita
menangkan jika kita terikut arusnya, namun kita juga tidak akan menang jika
kita hanya diam. Ingat apa yang saya tulis di atas, kita bebas menggunakan
sosial media kita. Gunakan itu untuk berperang melawan kebohongan. Use it as
our weapon. Mereka bisa menyebar hal buruk. Kita bisa menyebar hal baik. Mereka
bisa menyebar kebohongan, kita bisa menyebar kebenaran. Kita akan kalah jika
kita hanya diam. Jadi perangilah segala kebohongan itu, perangilah segala hal
negatif yang berbau SARA, perangilah kebencian. Tebarkan kebenaran, tebarkan
kabar baik, ceritakan mengenai kasih. Apa gunanya garam jika ia menjadi tawar? Apa
gunanya terang jika hanya diletakkan di bawah gantang? Jadilah garam yang asin,
jadilah pelita yang menerangi kota. Use your talent in sosmed well. Jika anda
bisa bernyanyi, bernyanyilah. Jika anda bisa menari, menarilah. Jika anda bisa
menggambar, menggambarlah. Jika anda bisa menulis, menulislah. Lakukanlah apa
yang kau bisa untuk memberitakan kabar baik. Untuk menyebarkan kasih yang telah
kau terima. Berkat paling baik adalah berkat yang dibagikan. Sharing is caring.
Saya akan tutup tulisan ini
dengan status yang pernah saya tulis di facebook saya:
Q :
kenapa ya kalau buka medsos auranya negatif?
A : mungkin karena
lebih banyak yang menebar kebencian bertopeng kritik daripada menebar kasih dan
kabar baik
Q : kenapa ya banyak
hoax bertebaran di medsos?
A : mungkin karena
mengklik share jauh lebih mudah daripada mencari tahu lebih dalam terlebih dahulu.
Q : Jadi kita di
posisi yang mana?
A : Ask yourself :)
Let’s join the war, spread the love :)