Kamis, 14 Januari 2016

Watch Your Fingers Out!


Saya baru tiba di rumah pukul 21.00 WIB karena sebelumnya visit luar kota. Fisik cukup lelah dan ingin segera istirahat. Namun mengingat hari ini ada berita cukup heboh mengenai pengeboman di salah satu daerah di Jakarta dan betapa banyaknya bertebaran pro kontra mengenai gambar korban dan hastag, saya rasanya tidak tenang sebelum menulis dan membagikan sedikit mengenai apa yang pernah saya dapat dari seminar SYC desember lalu.

Salah satu isi materi SYC 2015 yaitu kapita selekta yang terbagi atas dua pilihan. Tema pertama yaitu from addiction to action dan yang kedua socializing with(out) your social media. Untuk tema pertama dibatasi sebanyak 150 orang pria dan 150 orang wanita. Tema pertama sepertinya lebih menarik di kalangan remaja dan teman-teman saya. Ditambah dengan info adanya kaitan mengenai pembahasan sisi psikologi disana. Berhubung saya sedang tidak merasa addict terhadap sesuatu dan sudah lumayan kenyang belajar psikologi saat kuliah, saya cenderung berpikir untuk memberi kesempatan yang lain untuk mengikuti tema tersebut dan memilih tema kedua. Pemilihan tema kedua ini awalnya saya kira lebih cocok untuk saya mengingat cukup banyak social media yang saya ikuti. Mungkin sudah sebaiknya saya bersosialisasi dengan seimbang baik di dunia maya maupun dunia nyata, jadi dengan mengikuti kapita selekta di tema ini membuat saya bisa lebih balance dalam bersosialisasi. Tapi ternyata apa yang saya dapatkan di luar ekspektasi yang saya buat. Saya mendapat pelajaran yang jauh lebih penting setelah saya mengikuti materi tersebut. Membuat saya semakin bersemangat untuk menulis. Apa itu?

Pembicaranya adalah pak Wepe, ia awalnya memaparkan kondisi zaman yang sudah berubah pesat. Ia juga memaparkan kuantifikasi penggunaan sosial media di dunia dan di Indonesia, sangat banyak ternyata. Tidak heran jika banyak hal dengan cepat menjadi viral apabila dishare di sosial media. Pak Wepe juga menjelaskan hal-hal negatif yang sangat mudah muncul di internet  meski hanya dengan keyword sederhana. Media sosial menjadi tempat yang sangat mengerikan. Banyak penipuan, kebencian, hoax, pornografi, dan hal negatif lainnya. Ia sempat berkomunikasi dengan pihak google Indonesia mengenai hal ini, mengapa keyword sederhana bisa memunculkan hal negatif dengan sangat mudahnya? Jawaban yang dituturkan oleh pihak google sangat menyentak saat itu. Kalau tidak salah begini (maaf jika agak berbeda, buku catatan SYC saya hilang, dan saya merasa sangat sedih karena ini T_T): “Google itu hanya mesin pencari, dan ia buta. Apa yang diupload kesana itulah yang ia tampilkan. Jika banyak yang mengupload hal negatif, maka hal negatif yang keluar. Jika banyak yang mengupload hal positif, hal positif yang keluar”. Apa yang dikatakan orang tersebut benar menurut saya. Kita tidak bisa menyalahkan sosial media itu sendiri atas keburukan yang terjadi di sana. Mereka hanya media. Pengguna bebas menggunakannya untuk apa. Kita bebas menggunakannya untuk apa. Kita bisa mengklik situs resmi untuk mencari bahan penelitian, dengan jari yang sama, kita bisa membuka situs pornografi yang diinginkan. Kita bisa menggunakan sosial media untuk menyebar ilmu, dengan sosial media yang sama kita bisa menyebar kebohongan. Semua terserah kita. 

Terkadang kita salah kaprah. Merasa diam adalah hal terbaik yang kita bisa dalam menghadapi fenomena di sosial media. Kita lebih suka menjadi “silent reader”, penikmat dan penonton. Hingga tanpa kita sadari kita membiarkan hal negatif tersebar tanpa perlawanan. Ada quote yang menurut saya bisa dikaitkan dengan hal ini: ‘terkadang kejahatan menang karena yang benar hanya diam’. Itu yang sekarang terjadi di era media sosial ini. Kita cenderung ‘membiarkan’ hal negatif muncul dan tak jarang kita menjadi salah satu penyulut reaksi massa. Kita mengacuhkan hoax bertebaran, dan seringkali kita menjadi salah satu penyebar hoax tersebut hanya dengan pembelaan ‘saya kan cuma ikut share informasi’ tanpa kita cari tahu lebih dulu apakah yang kita share itu benar atau tidak, berguna atau tidak, memancing keributan atau tidak, beretika atau tidak. Ya, kemudahan seringkali tidak diiringi dengan kebijaksanaan. Kemudahan dibarengi dengan tindakan reaktif dan emosional. Sedih rasanya membayangkan smartphone digunakan oleh pemilik yang kurang smart menyaring informasi. Ketika ada berita yang menyindir kita, segera kita share dengan reaktif dan membuat tulisan tandingan yang tak kalah menyakitkan hati. Ketika ada berita kurang baik atas orang yang tidak kita suka, segera kita share dengan kalimat ‘bijak’ atau kalimat sindiran pedas. Mungkin bukan hal yang salah, namun apakah itu berguna? Apakah memberi dampak baik? Silakan jawab masing-masing.
Hal yang sama terjadi dengan peristiwa pengeboman di Jakarta hari ini. Dalam waktu singkat hastag #PrayforJakarta menyebar luas baik di twitter, facebook, instagram, hingga path. Bukan itu masalah utama, masalahnya adalah hastag tersebut tidak sedikit diiringi dengan video lokasi yang masih ada potongan tubuh, foto-foto korban, bahkan hoax yang tidak layak disebar. Apa yang terjadi? Rasa (terkesan) kemanusiaan dan nasionalis yang tiba-tiba sangat tinggi membuat kita, sebagian orang, menshare hal tersebut, baik dengan komen positif maupun negatif. Baik ‘dukungan’ doa maupun kritik. Sadarkah kita kalau kita sedang melakukan hal yang keliru? Bukan hastag yang salah sepenuhnya, namun tidak pada tempatnya. Alih-alih mendoakan, kita malah menyebar kesuraman. Alih-alih menyebar informasi, kita malah menjadi pendusta dengan menyebarkan kabar bohong. Sempatkah kita berpikir apa dampak dari yang kita tulis atau sebar sebelum kita melakukannya? Saya disini tidak sedang melarang siapapun untuk menyebar apapun, namun saya berharap kita lebih bijaksana dalam menggunakan sosial media. Apakah teman-teman tahu? Kita sedang berperang. Berperang melawan kenegatifan itu sendiri, berperang dengan yang mendalangi semua hal negatif ini *you know who*. Peperangan itu tidak akan kita menangkan jika kita terikut arusnya, namun kita juga tidak akan menang jika kita hanya diam. Ingat apa yang saya tulis di atas, kita bebas menggunakan sosial media kita. Gunakan itu untuk berperang melawan kebohongan. Use it as our weapon. Mereka bisa menyebar hal buruk. Kita bisa menyebar hal baik. Mereka bisa menyebar kebohongan, kita bisa menyebar kebenaran. Kita akan kalah jika kita hanya diam. Jadi perangilah segala kebohongan itu, perangilah segala hal negatif yang berbau SARA, perangilah kebencian. Tebarkan kebenaran, tebarkan kabar baik, ceritakan mengenai kasih. Apa gunanya garam jika ia menjadi tawar? Apa gunanya terang jika hanya diletakkan di bawah gantang? Jadilah garam yang asin, jadilah pelita yang menerangi kota. Use your talent in sosmed well. Jika anda bisa bernyanyi, bernyanyilah. Jika anda bisa menari, menarilah. Jika anda bisa menggambar, menggambarlah. Jika anda bisa menulis, menulislah. Lakukanlah apa yang kau bisa untuk memberitakan kabar baik. Untuk menyebarkan kasih yang telah kau terima. Berkat paling baik adalah berkat yang dibagikan. Sharing is caring

Saya akan tutup tulisan ini dengan status yang pernah saya tulis di facebook saya:
Q : kenapa ya kalau buka medsos auranya negatif?
A : mungkin karena lebih banyak yang menebar kebencian bertopeng kritik daripada menebar kasih dan kabar baik
Q : kenapa ya banyak hoax bertebaran di medsos?
A : mungkin karena mengklik share jauh lebih mudah daripada mencari tahu lebih dalam terlebih dahulu.
Q  : Jadi kita di posisi yang mana?
A  : Ask yourself :)



Let’s join the war, spread the love :)

 

Tempat Mengungkap yang Tak Terucap Template by Ipietoon Cute Blog Design