Siang itu hujan badai membasahi
nyaris seluruh kota. Awan gelap dan genangan air menyelimuti sepanjang
perjalanan pulang saya dari istirahat makan siang. Obrolan saat itu pun
akhirnya didominasi dengan kenangan masa kecil yang terasa sangat menyenangkan.
Kami saling bertukar cerita tentang bagaimana semangatnya kami di waktu kecil
ketika hujan turun dengan derasnya. Mulai mencari genangan air untuk dijadikan
wahana permainan, duduk di bawah talang air untuk mendapatkan pancuran hujan
agar seolah kami sedang bertapa di sebuah air terjun di pelosok bumi. Tidak ada
keresahan akan sakit flu yang mungkin akan menyerang, atau ketakutan pakaian
yang basah karena bermandikan air dari langit. Semua yang ada hanya tawa,
kegembiraan, dan tarian suka cita bersama teman-teman sepermainan lainnya.
Keadaan yang berbeda muncul ketika kami-kami yang dulu masih kecil kini telah
menjadi dewasa. Hujan badai menjadi salah satu yang paling dihindari. Semua
akan menjadi serba sulit, serba macet, dan serba terhambat. Keceriaan menyambut
hujan sirna tergeser tugas dan tanggung jawab para pekerja.
![]() |
pic from google |
Hujan itu juga membawa kembali
memori saya ke percakapan dengan seorang rekan yang lain sebelumnya.
Pembicaraan yang berujung pada pernyataan darinya yang kurang lebih begini
“saya sekarang sedang belajar menari di dalam badai”. Kalimat yang terasa
familiar namun jarang saya dengar. Anak-anak akan dengan ringannya melangkah
untuk menari ditengah hujan badai, namun tidak demikian dengan orang dewasa.
Butuh effort yang besar untuk mengatakan hal tersebut.
Menari di dalam badai berbicara tentang
bagaimana sikap kita ketika ‘badai’ datang menyapa. Badai kehidupan tidak akan
pernah berhenti total selama kita masih ada di dunia. Dia akan datang dan pergi
sesuka hati. Terkadang diawali dengan mendung dan petir sebagai peringatan,
tidak jarang muncul tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Bisa hanya dalam hitungan
menit ia berlalu, namun tidak mustahil ia ‘betah’ menghampiri sepanjang hari.
Pertanyaannya adalah, Apakah sikap yang kita pilih untuk menghadapi badai?
Apakah seperti anak kecil yang menjejakkan kakinya untuk menari di tengah
badai, atau seperti orang dewasa yang merasa lebih baik menunggu badai reda
baru kembali beraktivitas?
Menunggu seringkali dianggap sebagai
cara paling aman untuk ‘terhindar’ dari efek ‘badai’ untuk menikmati kembali
hangatnya mentari, melihat indahnya pelangi. Secara tidak sadar kita menaruh
harap bahwa bahagia akan muncul nanti, ketika badai telah berakhir. Sayangnya,
hidup tidaklah sedatar itu. Tidak sesimple menunggu hujan berhenti lalu
beraktivitas lagi. Hidup bukan hanya tentang menunggu bahagia akan datang di
suatu waktu setelah kita mencapai tujuan tertentu tapi bagaimana menikmati dan
mensyukuri hal-hal kecil yang terjadi. Betapa seringnya kita mengajukan syarat
untuk kebahagiaan kita. Jika sudah menjadi kaya, kita baru bahagia. Jika sudah
menikah, kita akan bahagia. Jika sudah memiliki anak, kita akan bahagia. Jika
sudah tidak ada masalah, baru akan bahagia. Begitu sedikit kegembiraan untuk
“dinikmati saat ini”, di tengah ketidakpastian “jika” dan “nanti”. Semua ‘jika’
tersebut membuat kita lupa menikmati hal-hal yang menimbulkan keceriaan selama
‘badai’ terjadi. Hidup bukanlah tentang menunggu badai berlalu, tetapi tentang
belajar menari di dalam badai. Bagaimana kita belajar untuk tetap dapat melihat
hal-hal yang membuat bahagia di tengah pergolakan hidup. Bagaimana kita belajar
untuk menghindari " bahaya" yang mungkin mengancam saat kita sedang
"menari". Bagaimana kita bisa menyatukan kepingan puzzle suka
duka dan tetap mengambil hikmah atas apa yang terjadi. Sehingga apapun
akhir yang didapat nanti, kita tidak kecewa karena harapan yang berlebih, pun
tidak menyesal karena tidak memanfaatkan hidup dengan baik.
Bahagia itu kita yang ciptakan. Pilihan
kita yang menentukan apakah ingin bahagia di akhir setelah badai pergi, ataukah
bahagia meski di dalam badai dengan cara belajar menari. Ingat, badai tidak
akan pernah bosan menghampiri. Your choice, choose wisely.
Ada yang ingin ikut belajar menari?
:D