Have you ever feel disturbed by
words in your head? It feels like those words playing around your mind and push
you to write? Thats exactly what I feel right now. Bagian pertama dari judul tulisan
ini sudah muncul di kepala nyaris sebulan terakhir, selalu berputar dan
menampakkan diri di saat yang tidak terduga. Namun ketika saya coba tuangkan ke
dalam tulisan, tidak ada ide yang muncul untuk ‘mengisi’ penggalan kalimat
tersebut, terasa terlalu berat. Akhirnya judul ini menggantung di draft tulisan
tanpa saya lihat lagi. Pun ketika saya mendapatkan penggalan kalimat kedua
beberapa hari yang lalu, rasanya judul ini hanya akan menggiring saya ke
untaian nasihat yang terlalu menggurui. Lebih baik dibiarkan saja tersembunyi
di dalam draft. Namun tidak saat ini. Rasanya saya sudah tidak diijinkan
menunda lagi.
pict from google |
Akhir-akhir ini saya memiliki
banyak waktu berdiam diri menatap langit (-langit) di malam hari (sulit tidur,
red). Saya memutar kembali apa yang sudah terjadi dalam keseharian saya,
baik-buruknya. Biasanya dimulai dengan pertanyaan ‘mengapa ini terjadi?’. Pertanyaan
lain yang sering muncul adalah, seberapa
jauh saya memberi arti terhadap apa yang saya lakukan. Seberapa besar saya
total terhadap dunia yang saya tekuni. Seberapa dalam saya memberi makna atas
apa yang saya miliki. Sudahkah saya benar-benar melakukan yang terbaik yang
saya mampu? Sudahkah saya benar- benar menghargai apa yang ‘dipinjamkan’ pada
saya? Ya, saya menggunakan kata ‘pinjam’ untuk apa yang saya miliki, karena
semua bersifat sementara. Sewaktu-waktu bisa saja hal tersebut harus saya ‘kembalikan’.
Apapun itu.
Pikiran tentang hal di atas
muncul kembali ketika saya menikmati sebuah film yang dibintangi aktor tampan
dan menawan Benedict Cumberbatch yang berjudul Doctor Strange (yah, insight
kadang datang dengan berbagai macam cara, kan?). Film ini memberi ‘pesan’ setidaknya
pada saya bahwa segala sesuatu hanya bersifat sementara dan it's not always about you. Kekayaan, ketenaran,
bahkan kemampuan pun hanya ‘dipinjamkan’ dan bisa saja diambil kapan saja. Mau atau
tidak. Siap atau tidak. Kapan yang kita (rasa) miliki diambil? Apa yang diambil
terlebih dahulu? Hanya Tuhan yang tahu. Lantas, apa yang harus dilakukan? Seperti
pertanyaan yang berputar di kepala saya beberapa malam terakhir, sudahkah saya
memaknai dengan tepat semuanya? Mungkin terlalu berat, bagaimana kalau diganti
sudahkah saya berusaha memberi makna dengan tepat atas apa yang terjadi, apa
yang dimiliki, dan apa yang dilalui? Bagaimana memaknai pekerjaan, memaknai
hadirnya cinta, memaknai pedihnya ditinggalkan, memaknai rasanya berkecukupan
ataupun kekurangan.
Saya pernah berdiskusi dengan
seorang rekan, terkadang rutinitas membuat kita secara tidak sadar mengurangi
makna terhadap keberadaan sekitar, mengurangi makna terhadap hal yang sudah
terbiasa ada, dan menganggap itu adalah hal yang wajar. Kita jadi kurang menikmati
yang terjadi, kurang bahagia menjalani hari, kita lupa memberi arti yang akhirnya
menjadi ‘zombie’ (baca disini). Atau ada juga yang sebaliknya, keberhasilan
yang menjadi rutinitas membuat seseorang menjadi arogan dan sombong karena terlalu
‘menghargai’ apa yang telah diraih, sehingga jadi lupa diri dan merasa hebat
sendiri. Seolah semua yang terjadi karena usaha dan kerja keras diri yang
pantas dipuji. Sehingga muncul kalimat di hati seperti: ‘Aku suci kalian penuh
dosa’. Ketika hal tersebut (baik yang disepelekan ataupun dibanggakan) akhirnya
menghilang, barulah kita tersadar bahwa yang kita acuhkan ternyata sangat
berharga (baca disini) dan yang kita banggakan menjadi tidak ada gunanya (silakan nonton doctor Strange -bukan promosi, red).
Lalu, bagaimana jika sudah
berusaha dengan sangat baik untuk memaknai dengan tepat, sudah total dalam
melakukan semuanya, sudah memberi diri dengan sepenuh hati, namun masih gagal? Masih
ditinggalkan? Dan masih dikecewakan? Well, disinilah mungkin kita sedang
diajari tentang melepaskan. Sometimes, you have to accept something that you
can’t fix (dr. Palmer –Doctor Strange). In life, loose something doesn’t mean that you
loose your life too (masih dr. Palmer). Maybe sometimes you must say goodbye,
for good. Ada masa dimana kita harus berjuang, ada masa dimana kita harus berserah (baca artikel serupa disini).
Kalau pakai istilah ibu-ibu yang dijuluki the ancient one di doctor Strange
(lagi) “surrender”. Ia mengajari Strange untuk melepaskan dan menerima, mungkin
istilah lainnya: ikhlas. Anyway, it’s not about how long you in charge there, it’s
about how big your impact when you in there. Kalimat ini berlaku untuk hal
apapun dalam hidup kita. Bukan kuantitas yang dinilai, melainkan kualitas.
Memaknai pekerjaan membuat kita lebih berkomitmen dalam memberi yang terbaik
selama kita di posisi itu. Memaknai peran diri membuat kita bisa hidup lebih
total dalam sehari-hari, lebih total mengasihi, lebih total menghargai, lebih
total menikmati. Meskipun kita memiliki pilihan untuk menjalani hidup seperti apa, namun rasanya hidup terlalu indah untuk dilalui dengan biasa saja dan apa adanya. Usia kita terlalu berharga
untuk dilewati dengan begitu-begitu saja. Memaknai hidup adalah langkah awal
untuk menikmati hidup, cara kita untuk menghargai apa yang diberi, cara kita
untuk menggunakan waktu yang hanya sementara. Sehingga, saat waktu kita sudah
dianggap habis untuk hal tersebut, ketika kita mulai masuk ke pelajaran tentang
melepaskan, kita tidak diliputi kecewa karena merasa tidak maksimal, pun kita
tidak diliputi rasa frustasi yang berkepanjangan dan merugikan karena kehilangan hal yang rasa-rasanya kita
miliki. Well, doctor Strange learn it in hard way, but his final reaction makes him has more power than before. There’s a new start in every end of something. Everything happens for reasons, right?
23.32 WIB
Let’s contemplate.
Disclaimer: I hope this post at
least can makes the future me learn to not become arrogant, remind me to appreciate everything, or maybe make me feel
better when I read it in pain.